Assalamu'alaikum

Rabu, 13 Oktober 2010

CERMIN HATI

1
KEPUTUSAN



G
emercik air membasahi lembah peraduan ilmu yang aku tekuni. Secuil harapan seakan tak ada makna yang berarti. Ketika semua harapanku hanyalah bak daun kering yang berserakan di sepanjang jalan. Hatiku mati dan jiwaku merana menyaksikan apa yang seharusnya tak kualami. Aku bukanlah siapa-siapa di kota yang asing bagiku. Aku hanya ditemani sinarnya rembulan, taburan bintang, serta dinginnya malam kota ini. Dan sahabat-sahabatku yang senantiasa meluruskan hati dan pikiranku. Tanpa mereka ku tak tahu siapa diriku. Aku yang berasal dari Jawa Barat ini harus menimba ilmu hingga ke Jawa Tengah nan hijau ini.
            Ku akui tak masuk akal anak pondok seperti ku harus melanjutkan kuliahku di Jawa Tengah ini, padahal di Jawa Barat pun, bahkan di pondokku saja ada tempat kuliah. Tapi entah angin apa yang  membawaku kesini. Apapun alasannya, yang jelas aku hanya ingin menuntut ilmu disini.
            Biar begitu, ada yang ku sesali selama berada disini, bagaimana tidak, karenaku__ salah seorang makhluk Allah harus salah langkah hingga akhirnya menderita. Aku telah membuatnya gila padaku dan menomer duakan Alloh. Karenaku pula semua orang harus terluka dan berduka. Sungguh bejat diriku ini. Tak sepantasnya aku berada disini, aku menghancurkan makhluk yang Kau kasihi Ya Alloh. Tapi tak ada gunanya aku menyesali apa yang telah terjadi, biarlah ini menjadi pelajaran berharga bagiku.
            Ku harap aku masih tetap putra Abah Sa’id Husaen hingga saat ini. Ya, aku__Wafa’, anak sulung pemilik Pondok Pesantren Daarul Djalal Jawa Barat. Beberapa tahun yang lalu aku masih berada di pondok abahku. Tapi beberapa tahun yang lalu hingga saat ini pula aku tak berada disana. Aku di Klaten, kota yang sehat dan hemat kataku. Bagaimana tidak, debu Klaten tak seperti debu Ibu Kota, trotoar Klaten tak dijadikan penampungan sampah seperti halnya Bandung yang konon merupakan kota kembang, serta lembutnya tutur kata mereka tak seperti di Karawang, Ciamis, Kuningan, dan sekitar Jawa Barat sana. Setiap pagi sekelompok orang memadati jalanan kota Klaten dengan sepeda mereka, tak sedikit pula para mahasiswa dan pegawai-pegawai pabrik pun serentak mengendarai sepeda. Trotoar jalan juga dipadati pejalan kaki yang melintasinya, nyaris tak satupun pedagang kaki lima di sepanjang jalan, lain halnya dengan Ibukota, trotoar dipenuhi pedagang kaki lima bahkan dijadikan perumahan pula.
            Huh… seandainya ibukota seperti ini, tak enggan rasanya para pejabat bersilaturohmi ke rumah rakyat kecil, mungkin. Dengan itu pula kita bisa melaksanakan kegiatan pencegahan Global Warming yang mengancam dunia akhir-akhir ini. Tapi apa Klaten seindah yang ku katakan? Wallahu a’lam , yang jelas ini fakta bukan mengada-ada.
            Universitas Klaten, pemuda-pemudi Klaten, Tokoh masyarakat Klaten, bahkan lingkungan Klaten cukup bersahabat denganku. Tapi aku belum juga bersahabat dengan apa-apa yang ada di kota ini, aku masih pantas dikatakan awam disini. Aku ingin sekali mengenal kota ini seperti aku mengenal kotaku di Jawa Barat. Aku ingin akrab dengan kota ini, dan ingin mengerti karakter orang-orang disini.
            Begitu beruntungnya orang sepertiku, ku kira setelah ku sampai disini kuakan terlantar dan harus mencari tempat yang tak ku ketahui, tapi ternyata Alloh memang melindungiku. Aku tinggal dirumah KH. Ahmad Hanifah pamanku. Disana aku merasa seperti dirumahku sendiri, begitupun paman sekeluarga memperlakukanku dengan tak berlebihan. Biar begitu aku tak bisa berlarut-larut menumpang seperti ini, aku harus bisa tegak sendiri dan secepatnya mengurangi beban keluarga paman.
            Hari pertamaku di kampus__aku berkenalan dengan mahasiswa asal Semarang yang ramah dan ber-Jawa kental, Rizal namanya. Dia baik dan tak banyak bicara sepertiku. Lain halnya dengan teman sekamarnya, Sony__ anak Pastur Salatiga itu. Rizal-lah yang meng-orientasikan aku dikampus ini, dengan ikhlas dia mengajakku berkeliling dari ruang satu keruang yang lain. Ada juga Mamad, Taufan, Hidayatulloh, dan sahabat kuliah lainnya yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda.
            Hari-hari itu sangat melelahkan bagiku, setiap bibir memberikan salam, menanyaiku dengan berjuta pertanyaan, dan bahkan Rizalpun menginterogasi ku selayaknya tahanan penjara.
“Mas, gimana to rasanya tinggal disini? Enak to?” Tanya Rizal dengan dialek Jawanya. Selagi ia bertanya, terus ku jawab pula pertanyaan-pertanyaannya. Sempat juga Rizal mengajakku ngekost bareng, tapi aku masih belum bisa menjawabnya karena selama ini aku tinggal bersama Paman. Kalau ditanya, tentu aku tak menolak, tapi… keputusan ada ditangan Paman.
            Sekian lama aku disini, semua tak berubah. Seluruh warga kampus selalu memandangku seolah-olah mereka menatap seorang teroris.  Adakah keanehan pada diriku ini? Aku pun menanyakan masalah ini kepada Rizal dan Sony. Dengan lembut Rizal menjawabnya lirih dan berbisik-bisik padaku.
Nda’ usah kaget dan bingung gitu Mas, mereka kagum sama kamu Mas. Soalnya, sudah jadi barang langka ada pemuda sesholeh Mas Wafa’ ini.” Katanya memuji-muji.
            Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang Rizal katakan. Apakah aku sesuci itu? Wallohua’lam, aku hanya diam dan mendengar penjelasan Rizal tadi. Diam memikirkan, sesuci apakah aku dimata para sahabat dan apa hanya aku yang mereka anggap sholeh? Yang jelas, aku bersyukur karena Alloh mengutus shabat-sahabat yang baik untukku. Selang beberapa lama, Sony menyampaikan beberapa kata padaku.
“Fa’…!” Panggilnya pertama kali. “ada salam dari anak-anak kampus, salam balik nda’?” jelasnya nampak kegembiraan didalam dirinya.   Wa’alaikumsalam… boleh, kalau tak merepotkan Kang Sony saja.” Jawabku masih agak bingung pada sikap para sahabat.
“O ya, hampir aja. Ada salam juga loh dari Shifa.” Katanya paling akhir. “ya wis yo, aku pamit sit, disit yo…” pamitnya.
            Siangpun berganti malam, kegelapan mulai menyelimuti alam nan indah ini. Nyanyian jangkrik pun tak lepas malam itu. Suasana Maghrib pun masih terasa didalam jiwa. Doaku seakan melayang-layang bersama angin malam menuju langit yang penuh dengan bintang.
            Ba’da Maghrib aku pun duduk diruang tamu menemani Paman yang sendiri. Banyak topik yang kami perbincangkan. Mulai dari kuliahku hingga masalah agama. Hingga aku teringat ajakan Rizal untuk ngekost bersamanya. Ku akhiri topik tadi dan ku alihkan pembicaraanku.
“Punten Paman.” Ucapku penuh keyakinan. “sudah sebulan lebih saya  teh tinggal disini, bersama Paman, Bibi, dan Anis. Apa sekiranya Paman tak berkeberatan?” Tanyaku cukup berbelit-belit.
Paman terdiam, tangannya terus merebut tasbih satu persatu, matanya terpejam dan kakinya dihentakkan ke lantai. Aku bingung dan cemas akan sikap Paman yang not responding itu. Aku sudah menduga, pasti Paman telah mengerti apa yang aku jelaskan. Tapi aku tak mengerti apa yang sebenarnya Paman fikirkan saat ini. Setelah beberapa lama, akhirnya Paman pun angkat bicara.
“Jujur, pertanyaanmu ini mengejutkan Paman.” Jelasnya terlihat murung. “ini rumah Paman, rumah yang dulu Paman dan Umi kamu tempati sebelum Umi kamu menikah dengan Abahmu.” Lanjut Paman dengan menebarkan senyuman kepadaku.
Penjelasan Paman barusan membuatku tak tega dan merasa tak enak untuk melanjutkan penjelasanku. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba Hanphone N5000 ku berbunyi. Dan ku lihat terdapat sms baru masuk.
“Kala keheningan malam menyelimuti kalbu, tak ada yang dapat menebarkan kehangatan kecuali kehangatan rindumu. Saat bintang tak lagi menebarkan pesonanya, senyumanmu selalu menebarkan syahdu bagiku.RħHσãhJ…!!” Begitulah kira-kira sms yang masuk. “Rashifah…?!” tanyaku terkejut. “Siapa ya? Atau mungkin…” kataku lirih yang akhirnya Paman potong. “Kancamu Le?”  Tanya Paman. “Ga tau Paman, nomor baru.” Jawabku seadanya. “Yo wis, sholat dulu yo… wis Isha.” Ajak Paman. “Iya Paman.”
Malampun mengucapkan selamat tinggal dan sang pagi mengucapkan salam dengan gembira, aku masih teringat akan sms yang Rashifah kirim, aku belum tahu siapa dia, atau mungkin dia adalah Shifa yang Sony ceritakan kemarin. Wallohua’lam, siapapun dia, ku harap maksud smsnya itu baik. Akupun mengawali hari ini dengan sekantong semangatku, hingga di kampus ku tanyakan masalah Rashifah kepada Rizal. Rizal kaget juga, tapi dia juga senyam senyum tak ada artinya padaku.
“Jadi, Rashifah itu saha Kang Rizal?” tanyaku makin penasaran. “naon atuh, ada yang lucu apa? Jawab Zal!” pintaku ngotot. “Aku nda’ nyangka, dia sms kamu Mas? Masa Mas nda’ tau si_dia kan yang kemaren nitip salam buat Mas.” Jelasnya masih tetap cengengesan. “Maksud Akang Shifa? Ah! Ga usah dibahas deh, ga penting.” Lanjutku menghentikan topik. “Tadi maksa, sekarang minta bubar. Yo wislah…” putusnya.
Masalah Shifa atau Rashifah sudah tak kami bahas. Kami anggap selesai semua itu. Tiba-tiba Paman menelfonku dan mengatakan sesuatu padaku.
“Paman? Assalamu’alaikum” Sapaku agak heran. “Wa’alaikum salam. Wafa’ Paman mau meluruskan maksud penjelasanmu semalam.” Jelas Paman cukup membingungkan. “Maksud Paman?” “Ya, Paman tahu, Paman ingin kamu belajar mandiri, carilah tempat kost untuk kamu nak!” aku sangat terkejut.
Dan Paman terus menyuruhku untuk mencari tempat kost. Alhamdulillah, akhirnya apa yang ku harapkan bisa ku peroleh. Akhirnya ku minta bantuan Rizal masalah kepindahanku ke tempat yang baru, dan betapa leganya aku. Aku bisa tinggal bersama sahabat-sahabat aku_Rizal, Sony, Taufan, Hidayat, dan Mamad. Tempat tidurku bersebelahan dengan tempat tidur Rizal, tepatnya dikamar depan, kamarnya cukup nyaman dan tertata rapi. Mungkin karena Rizal yang menempati.
Wah, panjang benar rasanya perjuanganku untuk bisa mandiri dan ini serasa sebuah perjalanan hijrah. Menyenangkan, menantang, penuh cobaan, dan sangat menyenangkan. Aku tak perlu lagi merasa tak enak karena numpang terus di rumah orang, sekalipun yang ku tumpangi adalah pamanku sendiri.
Mungkin ini hadiah yang Alloh berikan untuk ku. Walaupun aku masih agak tak enak hati dengan Paman, tapi insyaalloh, niatku ini baik dan tak ingin memutus silaturahmi. Apalagi kami ini adalah saudara. Dan ku harap Paman bisa mengerti keputusanku ini.














2
LINGKUNGAN BARU



S
elang beberapa hari aku pindah dari pondok paman dan hijrah ke tempat kost Rizal cs. Aku sudah merasa lega karena aku merasa lebih mandiri dan bebas melakukan apa saja. Tapi setiap minggunya aku masih sering berkunjung ke pondok paman. Karena biar bagaimana pun aku rindu sosok Anis yang manja… adikku yang baik. Sementara itu, gadis yang tempo hari pernah menitipkan salam untukku juga masih sering mengirimkan berjuta sms padaku. Ya…walaupun kadang aku agak canggung juga menerimanya, aku tak mengenalnya. Bertemupun tak pernah. Tapi mengapa dia selalu mengirimi aku berjuta sms… Hal itu malah membuatku penasaran. Seperti apa dia? Baikkah dia? Wallohua’lam… Biarlah, itung-itung menambah saudara baru. Abah bilang semakin banyak saudara, akan makin banyak munajah untuk kita.
Saat aku tengah merapikan semua kamarku yang belum tertata rapi. Ku dapati foto Abah dan Umi. Sekejap aku jadi rindu mereka, aku rindu Abah yang tiap kali menjadi Imam di pesantren. Dan lantunan ayat suci Al Qur’an yang selalu Umi baca selepas Maghrib. Aku ingat kampung halamanku… Perasaan itu pecah ketika Rizal mendapatiku tengah melamun. Rizal tertawa lirih, tertawa melihatku melamun sambil memandang foto Abah Umiku itu. Aku muak bercampur malu melihat kelakuan Rizal barusan. Tapi dia memang sahabat yang baik, sambil terus senyam-senyum_Rizal malah membantuku.
            Perbincangan demi perbincangan pun terucap dari kami. Entah apa sebabnya aku merasa tengah bersama Abah kala aku bersama Rizal. Padahal harus kuakui, Abah jauh lebih kental agamanya. Tapi bagiku, Rizal itu sangat dewasa. Kurasa dia akan selalu menjadi pelurus kekhilafan ku. Dengan tenang dia terus mengusap foto Abah dan Umi yang terkurung didalam figura. Dia banyak bertanya tentang mereka, dia cerewet sekali seperti Bu Likku kalau sedang masak nasi. Hehehe. Rizal juga memuja-muji mereka, menatapnya dalam-dalam. Dan berlanjut kemasalah yang mestinya tak perlu dibincangkan.
“Wah…  Abah sama Umi kamu memang pasangan yang serasi ya Mas?” Kata Rizal lirih. “Serasi…? Tanyaku heran. “…mengapa kang Rizal bilang serasi…?” ku lanjutkan pertanyaanku.
“Iya… Abah kamu sosok pemimpin yang sudah pasti adil.” Puji Rizal. ” Umi, wajahnya teduuuuuhhhh sekali. Bagiku… Pasti cinta mereka sangat indah.” Jelasnya panjang. “Cinta…?” aku makin heran dengan penjelasan Rizal. “Akh…! Sudahlah, sepertinya Mas ini wis mulai bingung…”  potongnya mengakhiri topik.
            Akhirnya kami pun selesai merapikan kamar tidurku. Ku berbaring lega, sementara Taufan yang melihat kami yang terlihat kelelahan mengambilkan kami segelas air putih yang segar. Alhamdulillah… syukur kami meneguk segelas air tersebut. Taufan memang salah seorang sahabat yang sangat perhatian pada siapa pun. Tak jauh berbeda dengan Hidayatulloh yang tak pernah mengeluh dengan sikap kaku Sony, teman sekamarnya. Yang pasti bagiku, mereka semua sangat baik untukku.
            Sementara itu, Sony yang sibuk dengan bacaan doa-doa kristianinya. Tiba-tiba muncul memintaku menemaninya sebantar. Aku tak tahu apa yang akan dia lakukan, yang jelas aku tak akan bisa mengajari kerohanian padanya. Tapi memang bukan itu, Sony memanggilku karena ia ingin minta bantuanku. Dia sangat ingin bisa menjadi orang yang lembut. Aku kaget dengan kata-kata itu. Lantas aku bingung sekali, bagaimana bisa aku merubah hati seseorang. Merubah hatiku sendiri saja aku kewalahan. Dia bilang dia malu, dia malu karena tak seperti Papanya yang lembut dan penuh kesabaran. Aku bingung bukan main, dan akhirnya ku suruh ia untuk melakukan beberapa hal. Sebelumnya aku bingung, tapi ku lihat kolam ikan dibelakang rumah yang cukup besar. Jadi ku putuskan untuk menyuruhnya membersihkan dedaunan yang jatuh kekolam setiap pagi. Aku ingat benar, cara itu adalah cara Abah mengajar santri-santrinya. Walau pun aku tak mengerti jelas artinya. Tapi kalau dipikir dengan logika, mana bisa kita membersihkan dedaunan hingga benar-benar bersih. Daun itukan selalu gugur. Itulah sabar…
“Apa…?” teriak Sony keras. “…aku harus membersihkan semua itu? Gila kamu Fa’…! Apa bisa…?!” Kata Sony mulai ragu. “Kalau ada niat dihati akang, insyaalloh semua akan lancar…” Bujukku agak sadis mungkin. “Terus__belajar sabarnya kapan?!” Tanya Sony agak emosi. “Nanti… kalau kang Sony sudah berhasil menyelesaikan pekerjaan itu.” jawabku seraya pergi meninggalkannya.
            Sebenarnya aku juga tak tega melihat ekspresi Sony yang nampak pucat dan bingung, tapi itukan keinginannya. Kalau dipikir-pikir, kenapa Sony tak meminta bantuan ayahnya saja. Bukankan ayahnya itu Pastur, pasti jauh lebih paham dibandingkan aku.  Akhirnya aku membiarkannya dibelakang rumah, dan kulihat ia sedang sibuk dengan daunnya. Sepertinya Sony sudah mulai menjalankan perintahku tadi. Ku acuhkan Sony dan ku putuskan untuk berkunjung ke rumah paman, aku rindu sekali pada paman, bibi, dan adikku Anis. Tak lupa, kalau aku kesana pasti tak lepas dari sebuah oleh-oleh. Ya_walaupun paman sudah melarangku membawa oleh-oleh untuk mereka.
“Paman kan wis bilang. Nda’ usah bawa oleh-oleh buat paman. Mbok ya uangnya ditabung saja. Siapa tahu kamu punya kebutuhan yang mepet. Kan nda’ bikin bingung Abah kamu.” Nasihat paman lembut. Tiba-tiba dari kejauhan Anis memanggilku dengan volume full sambil lari-lari tak karuan. “Mas…!!!” Panggilnya. “…mas Wafa’…!!! Mau kesini kok nda’ bilang-bilang… kan nanti bisa Anis jemput. Hehehe” Katanya cengengesan. “Jemput?! Jemput pake grobak?” tanyaku meledeknya. “Anis! Apa nda’ bisa ngomong lebih pelan! Nda’ sopan!” nasihat paman agak keras. “Maaf Yah…” Ucap Anis penuh penyesalan.
Banyak benar topik yang kami perbincangkan, tak terasa waktu jua mengharuskanku pulang ke tempat kost ku karena heningnya malam mulai menghantui bumi. Aku pamit kepada Paman, Bibi, dan Anis. Anis Nampak tak senang. Tapi biarlah, mungkin Anis lelah seharian mondar-mandir membantu Bibi di dapur. Kusalami kedua orang tuaku, mereka benar-benar ku anggap Abah dan Umi, yang lama tak kuhubungi selama aku di Klaten. Durhaka-kah aku_Ya Alloh? Wallohua’lam…  Perlahan aku pun mulai jauh dari pondok Paman, angin malam menggigit tubuhku, rasa ini membuatku mempercepat kayuh sepeda jengki tahun 70-an ini. Akhirnya sampai juga di tempat kost. Dari kejauhan terlihat Rizal yang sedang duduk-duduk di beranda. Dia menungguiku. Bagaimana tidak, dia lantas berdiri dan mendekatku melihat aku sampai didepan. Ku ucapkan salam dan dia balas pula. Ternyata dia benar-benar menungguku. Katanya, karena dia bersyukur masih memiliki seorang teman. Akupun hanya tertawa kecil. Aku heran aku saja tak pernah berpikir sampai kesitu. Apakah hanya lelucon, atau memang ketulusan hati Rizal yang amat indah?
Sekejap itu pun lenyap. Aku terhanyut dalam mimpiku. Hingga adzan Shubuh membangunkanku dan seluruh tubuhku ini. Aku bergegas menampung air wudhu, udara yang masih bersih dan belum tercemar merasuk diseluruh tubuhku. Dan kesegaran air wudhu ini sangat menyentuh seluruh jiwaku ini. Ah… segarnya… rasanya aku masih ingin menyentuh kesegaran ini. Tapi tiba-tiba Rizal datang dan mengucapkan sesuatu.
“Jangan lama-lama main air. Kayak anak kecil aja. Nanti masuk angin loh…” nasihat Rizal begitu mengejutkan. “Akh! Kang Rizal, bisa saja… Saya teh cuma iseng aja.” Kataku merasa malu sambil meninggalkan Rizal. Sementara itu, Sony juga terbangun dengan mata yang masih 5 watt itu. “Subuh ya…? Hua…!!!” katanya kelihatan masih ngantuk. “…aku tidur lagi ya Fa’…! Hua…” mulutnya terus menguap lebar. Taufan yang sekamar dengan Sony tertawa lebar melihat tingkah Sony yang aneh itu. “Hahaha… Sony… Sony… selalu saja begitu. Untung kamu bukan muslim, coba kalau kamu muslim, bisa-bisa kamu selalu absent solat Subuh. Hahaha!”            Ono opo to…? Berisik banget! Sholat! Sholat! Nanti keburu Iqomah tuch!” Kata Hidayatulloh mengingatkan. “Iya… buruan donk! Mau ke Masjid nda’ sich?!” lanjut Mamad. “Rizal! Mas Wafa’! dan kamu Fan! Cepet donk! Guyon wae…!!!” katanya terus ngomel. “E…!” teriak Rizal hampir tertinggal. “mengko sit…! Sarungku isih acak-acakan. Moso aku ditinggal!” Teriaknya mengejar kami.
Beruntung kami belum terlambat sampai masjid, iqomah belum dikumandangkan. Dan pada saat iqomah, seluruh jamaah bergegas melaksanakan kewajiban mereka tak terkecuali aku sendiri. Jam menunjukkan pukul 04.45 wib. Tepat saat imam memberikan kuliah shubuh pagi itu. kantuk teramat menggantung mata kami tatkala mendengarkan kuliah shubuh. Mata besar mulai terbit ketika kuliah shubuh berakhir. Seperti biasa, setelah jamaah shubuh, sambil pulang ke tempat kost, kami jalan-jalan keliling kompleks. Dijalan, kami berpapasan dengan lelaki paruh baya yang Nampak kekar tubuhnya, Pak Udin namanya. Beliau adalah ketua RT dikompleks kami. Kami saling menyapa dan terjadi sedikit perbincangan diantara kami. 
Assalamu’alaikum Pak De…!” sapa Rizal, Mamad, Taufan, dan Hidayatulloh. “Wa’alaikumsalam…! Baru pulang jamaah kalian?” tanya Pak Udin begitu akrab. “…hm…mesti kalian terlambat meneh… iya to…?” tebaknya tak meleset. “Iya Pak De… maklum, kamar mandinya kan Cuma satu. Sedangkan penghuninya bukan satu lagi.” Bela Rizal. “Iya iya… Pak De tahu.” Katanya singkat__kemudian pandangannya beralih padaku, dia tersenyum lebar padaku. Aku yang baru disini pun hanya nyengir malu. “O… mesti iki kancamu sing anyar iku to, Fan?” tanyanya memakai logat jawa yang tak ku mengerti maksudnya, inilah yang paling tak kusukai. Serasa dicuekin. “Injih… Pak De… asmanipun Wafa’… pindahan soko Jawa Barat…” Jelas Taufan ikut-ikutan berdialeg Jawa. “Kang! Sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan? Kok kayaknya menyebutkan namaku gitu?!” Tanyaku pada Rizal bisik-bisik. “Iya. Pak Udin ini sedang Tanya-tanya mas Wafa.” Jelas Rizal. “Maaf Pak De… Wafa belum bisa dialeg jawa. Apa nda’ sebaiknya pake BI saja Pak De?” usul Rizal bijak. “O iya… aku lali… Pak De ingetnya ngobrol Jawa… saja. Maaf ya nak Wafa…” ucap Pak Udin.
Perbincangan demi perbincangan pun terangkai diantara kami. Hingga Pak Udin menyerempet ke masalah aku sebagai warga baru di kampong ini. Memang sudah seharusnya sebagai warga baru, aku harus ikut menyesuaikan adat dan kebiasaan disini. Begitu pula yang sedang kami bincangkan. Pak Udin bilang, aku harus ikut jaga malam rutin yang dilaksanakan di kampong ini. Aku harus ikut salah satu kelompok jaga malam. Untunglah, para sahabat juga selalu rutin melaksanakannya. Jadi aku bisa satu tim dulu dengan mereka.
“Hm… kalau begitu, biar saya satu kelompok dengan kang Rizal dulu ya Pak…!” pintaku. “…soalnya saya  teh belum paham benar dengan warga dan lingkungan disini.” Lanjutku. “Ya ya… nda’ apa-apa kok… yang penting ikut melaksanakan lah. Nanti kalau nak Wafa ini nda’ ikut, nanti saya dikira RT yang pilih kasih.  Iya to…?” lanjut Pak Udin begitu mantap. “Kalo gitu, berarti mas Wafa ikut jaga malam saya nanti malam mas…! Soalnya nanti malam jadwal saya. Gimana?” Tanya Rizal. “Iya… saya ya ikut saja lah kang.”     Ya wis… kalau begitu, semua sudah beres. Dan selamat menikmati lingkungan baru kamu Fa’…” ucap Pak Udin. “Terima kasih pak… Tapi punten pak…” kataku begitu pelan. “saya… saya… belum bisa panggil Pak Udin… Pak… Pak De… masih canggung pak…” lanjutku sebenarnya tak enak hati. “Ya nda’ apa… nanti lama-lama juga terbiasa… Ya wis… Pak De pamit dulu. Assalamu’alaikum…       Wa’alaikumsalam…
Kami pun pulang, hari ini adalah hari pertamaku mengisi ceramah diROHIS kampus. Aku sengaja ingin ikut kegiatan itu, beruntung dikampus juga ada Rohis. Rupanya tak banyak penggemar ROHIS disini, tak sebanyak penggemar band-band terkenal Indonesia macam UNGU atau D’MASIV. Oleh karenanya, walaupun aku baru sekali ini di Rohis, aku sudah hafal mereka-mereka yang disini. Hanya ada 17 orang. 10 orang ikhwan. Dan 7 lainnya adalah akhwat. Termasuk Rizal, itupun karena ajakanku tadi. Seusai kegiatan Rohis aku pun pulang bersama Rizal_dia cerita banyak tentang Rohis, dia bilang alasannya tak pernah ikut kegiatan Rohis karena Rohis di kampus teramat membosankan, tak ada variasi lain atau apalah… sebagai daya tarik. Aku pun jadi tertarik untuk mengembangkan Rohis.

               




3
DIA ITU… SYIFA…?!



Malam pun beranjak, inilah saatnya aku, Rizal dan Sony jaga malam di pos ronda. Kami tak hanya bertiga, pak Bejo, hansip kompleks juga ikut jaga malam ini. Bagi Rizal malam ini malam yang biasa-biasa saja, tapi tidak bagiku. Malam ini adalah malam pertamaku melaksanakan jaga malam yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Ini benar-benar salah satu pengalamanku lagi, jaga malam bersama. Agaknya sangat baru bagiku. Sebelum jaga malam, aku sempatkan untuk membaca ayat-ayat Alloh_semenjak di Klaten, rasanya jadwal ngajiku amat berkurang. Sibuk kuliah, membuat makanan, ikut inilah, itulah, akh… beda benar dengan hidupku di Jawa Barat. Disana aku selalu menyempatkan tadarus hampir tiap ba’da sholat fardhu, belum lagi jam-jam lain. Coba sekarang, aku tadarus ba’da Maghrib saja sudah untung.
Rizal memanggilku. Dia juga membantuku menyiapkan alat-alat apa saja yang harus aku bawa, ya maklum saja aku ini kan baru pernah nge-ronda. Ku ambil senter, sarung, dan tak lupa Hp N5000 ku. Kami pun bergegas menuju pos ronda. Terlihat disana pak Bejo sudah duduk sendiri menunggu kami. Seperti biasa, pak Bejo sibuk mengeluarkan papan caturnya ketika melihat kami datang. Itulah kebiasaan pak Bejo, kata Rizal. Sony langsung saja mendekat pak Bejo dan seakan mengajak bermain. Sony memang selalu begitu, dia suka catur dan dia juga pandai main catur. Aneh juga sich, orang arogan seperti Sony mahir bercatur.
Sementara itu, pak Udin ketua RT desa ini seperti biasa memberikan jatah makanan kecil kepada setiap orang yang bertugas jaga, tak terkecuali kami. Tapi kali ini bukan pak Udin yang mengantarnya, melainkan keponakannya. Katanya pak Udin sedang ada kepentingan diluar, jadi tidak bisa mengantarkan makanan ini.
“Bu! Bapak nda’ iso nganter jajan buat anak-anak ronda. Bapak minta tolong ibu saja ya…!” Pinta pak Udin pada istrinya. “Rasyifah aja pak lik…!” kata Rasyifah menawarkan diri. “Tumben kamu, nda’ disuruh kok ya mau. Biasanya saja, kalau diprentah ya ngomognya moh.” Lanjut bu Udin meledek. “Ya biarin aja bu… wong anaknya lagi mau. Yo ben…!” Bela pak Udin. “Fah! Ini kamu anterin ke pos ronda ya…! Pak lik ada tahlilan di kampung sebelah. Kalau lewat pos, ya… suwen…” Jelas pak Udin. “Beres pak lik! Nda’ usah cemas… pasti semuanya beres…” kata Rasyifah membanggakan dirinya sendiri. “Syifa pamit ya… Assalamu’alaikum…!”                 Wa’alaikumsalam.”       “Hm…ada yang nda’ beres ya bu… Syifa aneh…” kata Pak Udin. “Mesti… lah Pak…”
Rasyifah pun bergegas mengantarkan makanan kecil tersebut. Dia terlihat amat ceria, ya… karena dia tahu, malam ini ada anggota ronda baru. Sesampainya di pos ronda, dengan lembut dia mengucapkan salam kepada kami. Tak lupa dengan menebarkan senyumnya itu. Gadis yang amat pemberani dan apa adanya, itulah dia. Dengan berjuta PD-nya, dia biasa-biasa saja kalau harus berurusan dengan lawan jenis. Lain denganku_Canggung.
Assalamu’alaikum...!” kata Rasyifah mengucapkan salam. “Wah... makanan datang... Sini Fah...!” Sahut Sony tidak sopan. “Enak aja... emang buat sampeyan apa!” Tolak Rasyifah menyembunyikan makanan. “Yo wis...! pak Bejo. Keliling aja yuk...! males disini!” Ajak Sony pada pak Bejo marah. Sementara itu, Rasyifah tetap saja cuek, dia malah senang kalau Sony itu pergi, mengganggu. “Zal...! Mas Wafa’...! ini Syifa bawakan makanan buat kalian. Syifa sendiri lo yang bikin...” Kata Rasyifah menyodorkan makanan.
Aku heran benar, jadi ini yang bernama Syifa__Rasyifah. Gadis yang kerap mengirimi aku SMS. Tapi apa yang membuat dia terinspirasi seperti itu ya...? Wallohua’lam. Tapi aku juga bingung, dari mana juga dia dapatkan nomor handphone-ku. Dia tahu namaku, akh, kalau Cuma sekedar nama sich sudah biasa. Kami berdua belum membuka makanan tersebut, tapi Rasyifah tetap saja duduk disini, benar- benar over PD. Rizal memegang perutnya, seketika dia minta ijin untuk buang air sebentar. Ya Allah... kenapa Rizal harus pergi saat gadis ini disini. Padahal aku kurang senang dengan sifat dan sikapnya.
“Mas! Aku ke jamban dulu ya...! kebelet nich!” pamit Rizal cengar-cengir. “Kang!” Panggilku.
Inilah hal yang ku benci, ku pikir lebih baik aku tundukan kepalaku sambil memasang earphone ditelingaku. Setidaknya dia bosan berada disini. Dan ku harap dia cepat pergi dari sini. Dan tak datang lagi kesini. Tapi salah, dia tetap saja duduk tenang dan berusaha mengajakku bicara, tapi pura-pura saja ku acuhkan dia. Hingga akhirnya Rizal kembali ke pos dan kupanggil dia keras-keras.
“Mas!” panggil Rasyifah. “…asyik banget kayaknya. Memang dengerin lagu apa, Mas…?” Tanyanya mengakrabi. Tetap ku acuhkan dia sambil ku geleng-gelengkan kepalaku pura-pura keasyikan mendengarkan hits-nya UNGU. “Ya Wis, kalo nda’ mau ditanyai, Syifa nda’ nanya lagi kok…” katanya terlihat marah. Dan pada saat itu, Rizal pun datang. “Ya Alloh kang Rizal! Akang itu buang air apa mandi sich?!” tanyaku emosi. “Maaf mas, tadi nda’ ada air. Tapi kan ditemenin sama Syifa… Ya to, mas?” jawabnya extra santai. “Iya… tapi kayaknya mas Wafa’ nda’ mau ditemenin!” kata Rasyifah benar-benar marah. “…aku pamit! Assalamu’alaikum…!” pamit Rasyifah kasar. Wa’alaikumsalam “Syifa kenapa? Kok yo nesu kaya ngono…” Tanya Rizal heran. “Kamu ngomong apa kang? Aku ga ngerti.” Tanyaku bingung dengan bahasanya. “Itu, Syifa kenapa, kok kayaknya marah? Mas tahu, Syifa kenapa?” “O… biarin aja, yang penting dia pergi.” Jawabku tanpa dosa. “Hm…pasti ada yang nda’ beres…” kata Rizal lirih.
Suasana pos ronda makin menggigit ditubuh kami, suara binatang malam menemani kami dimalam itu. Lampu-lampu rumah warga mulai padam, aktivitas tak berarti pun mulai surut. Kantuk pun tak lepas dari kedua mata kami. Tiba-tiba terlihat Sony dan pak Bejo dari arah barat menuju pos. Mereka duduk, dan meneguk segelas kopi pahit kiriman gadis tadi. Sepertinya mereka berdua sudah amat kelelahan. Tanpa pikir panjang, Sony rebut makanan yang terbungkus tas plastik yang ku gantung disudut pos. Dia tawarkan makanan itu pada kami semua. Serentak kami pun ikut mencicipinya. Biasa, kami malu-malu. Kecuali Sony yang tak punya malu.
“Loh! Kok jajannya nda’ dimakan?” Tanya Sony dan dijawabnya sendiri. “yo wis… biar aku aja yang makan. Mau! Nich! Udah, nda’ usah malu-malu… yang punya kan udah pergi.” Katanya menawari kami. “Hm… pasti bikinan Syifa…! asin!” cela Sony menjulurkan lidahnya. “Wis… wis… udah dikasih aja syukur, pake nyela lagi. Nda’ sopan.” Tambah Rizal memperingatkan. “Iya, asin ya mas! Tapi tetep enak kok.” Kata pak Bejo. “…eh! Tapi kata orang jaman dulu, kalo ada perawan masaknya asin kayak gini. Biasanya udah mau minta cepet-cepet kawin… iyo… bapakku bilang gitu…!” tutur pak Bejo yakin. Sony pun langsung menanggapinya serius. “Bener banget! Rasyifah kan pingin buru-buru dikawinin sama… Wafa’! bukan begitu mas?!” lanjut Sony asal bicara. “Ehek… ehek…” mendengar begitu aku pun shock berat. “Astagfirulloh… mas nda’ kenapa-napa, kan? Minum dulu mas! Minum!”   “kamu sich… buat apa to ngomong koyo ngono?!” lanjut Rizal membelaku.
Kami lupakan kejadian barusan. Ya… walaupun hatiku masih begitu marah, tapi biarlah… Sony memang selalu seperti itu. malam mulai mencekik, kami rasa_keadaan kampung juga aman-aman saja. Kami tertidur pulas di pos ronda. Kami yang kelelahan tak bisa menahan kantuk yang amat menggantung dimata kami.
Jarum jam keemasan terpantul dalam belenggu cahaya biru arloji ditanganku yang menunjukkan pukul empat pagi. Cahaya lampu rumah-rumah penduduk mulai menyala. Langit pun menyemburkan hawa Subuh yang kunantikan. Aku bangkit dari tidurku, ku ambil sarungku dan bergegaslah aku menuju jamban yang tak jauh dari sekitar sini. Jamban itu juga tak jauh dari rumah Pak Udin ketua RT kami.
Kudapati gadis yang semalam mengganjal diriku. Syifa? Ya… begitulah para sahabat memanggilnya. Dia terlihat sedang membantu seorang wanita di dapur pondok pak Udin. Mungkin istri pak Udin. Aku makin penasaran dengannya. Siapa sebenarnya dia, ada hubungan apa dia dengan pak Udin. Apa mungkin dia itu putri pak Udin? Akh… tapi tak mungkin, kang Rizal bilang pak Udin tak memiliki anak satu pun.
Astagfirullohal’adzim… mengapa aku jadi seperti maling begini. Ku acuhkan tempat itu, dan ku ambil air untuk mengusap wajahku yang masih sayu. Seperti biasa, aku merasa amat senang dengan air disini. Sejuk benar… air ini cukup untuk mengusap kantuk diwajahku. Ku kembali ke pos ronda, ku bangunkan kang Rizal, kang Sony, dan pak Bejo. Mereka juga sayu. Buru-buru mereka menyeka wajahnya untuk membuang sayu.
Ku dengar lantunan ayat-ayat Allah dikumandangkan di surau yang biasa kami jamahi. Begitu merdu dan meneduhkan jiwaku ini. Kami pulang ke tempat kost kami, sekaligus persiapan jamaah subuh pagi ini. Saat kuliah subuh, tiba-tiba aku teringat sikapku yang tak semestinya ku perlihatkan kepada Syifa. Tiba-tiba hatiku benar-benar merasa bersalah padanya. Rasanya, gumpalan dosa menutup seluruh hati dan pikiranku. Kenapa tiba-tiba aku jadi begini?
Ya Alloh… musnahkanlah kegelisahanku ini… berilah petunjuk dan jalan terbaik untuk masalah ini ya Alloh… Jangan biarkan diriku ini berselimut dosa… Walau pun hamba ini tahu, bahwa manusia macam aku ini tak pernah lepas dari dosa. Tapi setidaknya, hindarkanlah semua itu dari hamba… Hindarkanlah ya Alloh…
Suasana itupun berganti menjadi suasana pagi yang segar. Ku mulai aktifitas hAari ini dengan penuh kegembiraan, namun tetap dengan ganjalan yang teramat dalam hati. Aku masih belum bisa melupakan kelakuanku tadi malam. Begitu merasa bersalah diriku ini.
“Berangkat, mas.... Wis siang ini...!!!” ingat Rizal buru-buru. “....mas mau jalan kaki po nyepeda to mas....?” lanjut Rizal menanyaiku. “Duluan saja, kang. Masih ada yang harus saya selesaikan.” Jawabku santai. “O... yo wis kalo gitu... Assalamu’alaikum...”
Hari ini aku berencana untuk menemui gadis yang sering disapa Shifa itu, aku ingin meminta maaf kepadanya, aku rasa sikapku tadi malam begitu keterlaluan.

RINDUKU CINTAMU.....

 "Gita! Tunggu!!”
“Cepetan donk, Fi!” teriak Gita nyaris tak sabar. “apaan lagi sich, Fi?! Bodo akh!!” gadis dengan gaya cowo itu sewot melempar bola basket yang dipegangnya.
Mata Raffi tetap tak berkedip memandang indah gadis yang melintas dihadapannya. Tubuh Raffi terasa tak dapat digerakkan sedikitpun.
“Gita! Kamu lihat, kan?” Tanya Raffi. “Git..Gita..!”
Raffi meninggalkan lamunannya dan bergegas mencari Gita yang pergi entah kemana. Gadis cantik yang sempat Raffi pandang tadi membuatnya lupa akan Gita yang sedang menunggunya bermain basket.
“Loh! Gita! Kucari-cari, disini rupanya?” ujar Raffi.
“Ngapain juga nyariin aku!” lanjut Gita asam meninggalkan Raffi.
Raffi kemudian duduk dibangkunya, jam istirahat kelihatannya masih tersisa sekitar 5 menit. Raffi memanfaatkannya dengan mempersiapkan buku-buku yang akan digunakannya usai istirahat.
Raffi mencoba mengingat-ingat, sudah beberapa kali Gita marah tanpa sebab. Tak ada angin, apalagi hujan, tapi Gita sering sekali jengkel padanya.
Oleh karena itu Raffi hanya bisa diam saat Gita tengah melintas dihadapannya selepas jam ke-6, tepatnya saat bel istirahat kedua berbunyi. Meski ada beberapa hal yang kurang sreg, tapi Raffi mencoba bersabar menatap wajah Gita yang teramat sangar.
Gita mendekat dan memberikan sepatu Raffi yang ia pinjam kemarin. Ucapan terima kasih tak lepas dari bibirnya kala itu.
Raffi menatap ketakutan melihat ekspresi wajahnya istirahat tadi. Tapi Raffi senang sahabatnya itu akhirnya mau mengajaknya bicara juga dan meminta maaf pula.
“Ma kasih ya, Fi!” ucap Gita mengembalikan sepasang sepatu Raffi. “ma..ma...maafin aku tadi ya!” lirih Gita berkata-kata.
“Apa Git? Aku ga denger!” tambah Raffi.
“Maafin aku!!” teriak Gita menyodorkan tangannya.
Raffi keluar dari ruang kelas, mengacuhkan Gita yang minta maaf padanya. Ada setumpuk batu mengganjal didadanya saat ini. Raffi tak habis fikir kenapa sahabatnya itu selalu saja begitu. Sebentar marah, dan dengan mudah meminta maaf begitu saja.
Waktu serasa berjalan begitu cepat. Baru saja Raffi mengacuhkan Gita, kini sepulang sekolah menjadi detik-detik yang mendebarkan bagi Raffi. Dia memberanikan diri untuk datang ke kelas 1A, tempat gadis cantik yang Raffi lihat istirahat tadi.
Dengan perasaan berdebar-debar, Raffi melangkah dan dilihatnya gadis itu duduk di depan kelas sendirian. Raffi mendekat dan sepatah kata terucap begitu berat.
“Hai!” sapa Raffi begitu terbata-bata.
Kala itu, sang gadis yang sedang sibuk dengan NOVEL tebalnya menengok dan membalas sapaan Raffi. Segera gadis itu menutup dan menyimpan bacaannya pelan-pelan ke dalam tasnya.
“Sibuk ya?” Tanya Raffi basa-basi.
“Ga juga! Apa ada perlu sama aku, kak?” tanyanya begitu manis di hati Raffi.
“Aku..aku..., Raffi!” kenal Raffi memberikan tangannya pada sang gadis.
‘Rena’ begitulah gadis itu membalas sapaan Raffi barusan. Baru sebentar mereka berkenalan, perbincangan demi perbincangan nampaknya begitu kental diantara mereka. Canda tawa menghiasi perbincangan mereka yang seakan menghentikan waktu siang tadi.
Biar begitu, Raffi tak larut akan kebahagiaannya, terkadang dia mengingat wajah Gita melayang dalam pikirnya. Raffi selalu teringat canda Gita yang seolah mengajaknya bersama. Tak dapat dipungkiri, Raffi tak bisa marah apalagi membenci Gita. Sejak kecil mereka selalu bersama.
“Gita lagi ngapain sekarang ya? Pasti hatinya sedang terluka karena aku, tadi.” Tebak Raffi dalam batinnya.
 Raffi sadar benar kalau kelakuannya  pada Gita tadi siang telah meremukkan hati Gita. Tapi bagi Raffi bukan hanya perasaan Gita yang hancur, begitu pula dengannya.
Setelah Raffi mengakhiri kebersamaannya siang ini bersama Rena, Raffi berencana menemui Gita dan meluruskan masalah mereka tadi siang.
“Assalamu’alaikum..!” salam Raffi didepan rumah Gita.
“Wa’alaikumsalam..!” balas Bu Dewi membukakan pintu. “masuk, nak! Cari Gita ya?”
Jawaban singkat terucap darinya sebelum akhirnya Gita keluar dan menghampiri Raffi yang tengah duduk di teras depan. Nampaknya Gita masih begitu marah, itu terlihat dari caranya menatap Raffi. Sinis! Tapi hatinya tak mungkin tega mengacuhkan Raffi.
“Ngapain kesini?” Tanya Gita membuka percakapan dengan sinis.
Suasana ini benar-benar merobohkan niat baik Raffi, bagaimana tidak_Raffi sadar dia jarang sekali menginjakkan kaki di rumah Gita, kalau bukan untuk mengerjakan tugas.
“Kok gitu ngomongnya sich? Aku kan jadi ga enak sendiri.” Katanya begitu ragu.
“Udah! Cepet, ngomong aja! Ga da waktu buat ngomong sama cowo sombong kayak kamu!” cela Gita begitu mengiris hati Raffi.
Dengan penuh keyakinan Raffi pun benar-benar menjalankan niatnya. Kata maaf begitu dekat pada diri Raffi malam itu, berjuta penyesalan seakan menggantung di pundak Raffi. Gita takjub! Raffi minta maaf?   
“Bisa minta maaf juga?!” Tanya Gita masih dengan nada menyebalkan.
“…hm..tadi aku ga bermaksud kayak gitu..aku benar-benar emosi…” jelas Raffi meyakinkan kata-katanya dan terus meyakinkannya pada Gita. Raffi tak mau terbalenggu dosa, dosa karena perlakuannya pada Gita.
“Apa aku ga salah denger nich?” ledek Gita senyam-senyum.
“Beneran Git! Maafin aku ya! Please!!” pinta Raffi merebut kedua tangan Gita.
Gita benar-benar terharu, hatinya yang kikis serasa segar kembali dengan datangnya embun-embun yang Raffi bawa untuknya.
Waktu terus berputar, Raffi maupun Gita menikmati harinya seperti biasa. Dan Rena terlihat semakin akrab dengan Raffi kakak kelasnya itu.
Raffi lebih banyak meluangkan waktunya untuk gadis cantik itu. Apakah wajah Gita sudah tak lagi membayangi hari-hari Raffi? Hingga Raffi mantap dengan keputusannya yang mungkin sulit Gita terima. Dan semua itu jauh dari pikiran Raffi.
Gita tahu semuanya, Gita tetap ingin melapangkan hatinya, Gita tak boleh marah, Gita tak ingin air matanya pecah untuk Raffi. Gita ingin tersenyum untuk Raffi.
“Gita!” panggil Raffi girang. “tadi aku…”
“Iya..aku tahu! Terus?” lanjut Gita dengan pertanyaan singkat.
Gita terus mengacuhkan Raffi yang sejak tadi terus mengejar Gita. Raffi tak bisa membaca hati Gita saat ini. Karena mata hati Raffi tengah tertutup oleh cinta Rena.
“Gita..! kamu kenapa sich?” Tanya Raffi begitu penasaran. “katanya tahu..! ya..kasih selamat kek, apa gitu..! jangan diem aja donk!” rayu Raffi.
Mungkin mata Gita memang tak mengucurkan air mata, tapi hati Gita benar-benar dibahasi air mata luka. Hatinya seakan tertusuk duri yang penuh benci. Pikirannya kosong, langkahnya begitu mati dan berat. Tapi satu yang ia ingat, dia harus menerima kenyataan yang berat ini. Membiarkan hatinya rapuh terkikis cermin hatinya sendiri.
“Selamat ya..! aku turut berbahagia.” Ucap Gita begitu lirih dan renyuh. Kata-kata itu benar-benar membahagiakan Raffi yang dengan lembut memeluk tubuh Gita yang hampa.
Jiwa tak bisa mengendalikan kesesatan hati. Gelora hati berhiaskan gelap dan terang. Hitam menggumpal, luka jiwa terasa perih. Seribu mimpi, berjuta angan hanyalah seengok angan kosong. Dan hanya harapan semu yang terus bertahta.
Bila hati berselimut benci, mata hati dibutakan dendam, iblis menari mengalun sukma. Memori kebahagiaan terasa musnah.
Itulah yang Gita rasakan saat ini. Sakit melihat Raffi yang berhias Rena. Sakit bila harus menerima. Dan sakit jika dia tetap seperti ini.
Kesunyian kata terlukis pada diri Gita. Ucapannya seakan menjadi kenyataan yang berarti. Segenggam lumpur mengotori ruang hatinya. Taman hati  porak poranda diterjang angin kebencian.
Dia teringat akan kata-kata ibunya yang riuh didengar,, kata-kata yang halus ditelinga. Tapi dapat menyakitkannya kini. ‘Rindu dan Cinta’, itulah ungkapan dalam yang selalu jadi tanda Tanya besar baginya.
Kini hati Gita dipenuhi dengan hitam. Api membara menghanguskan segalanya. Cahaya seakan tak bisa menembus jendela hatinya. Kecuali satu hal yang tak Gita ketahui dari illahi.
“Ibu bohong!” teriak Gita begitu sengit didengar. “ibu bilang, Gita rindu ayah karena ayah cinta Gita! Tapi kenapa ga buat Raffi?!” isak Gita melempar kerikil ke kolam kecil belakang sekolah.
Ini kerikil Gita yang terakhir, dia sengaja tak melemparkannya ke danau, tapi ke arah orang yang Gita pikir memata-matainya. Aow! Dan dari situlah Gita tahu makna Rindu dan Cinta itu.
“Aow!!” teriak pemuda itu ketika kerikil mengenai kepalanya.
“He! Nguping ya?!” bentak Gita sadis.
“Ya jelas! Orang aku punya kuping!” celetusnya santai.
Jawaban itu makin membuat Gita naik darah, dia heran. Siapa sebenarnya orang ini. Apa maunya, dan apa maksudnya. Cukup sudah Gita bertanya-tanya, pemuda itu mengawali perbincangan yang berarti.
Rindu dan Cinta? Hm..pertanyaan yang sulit.” Kata  pemuda itu mengulang pertanyaan Gita. “aku saja tak tahu apalagi kamu..” lanjutnya merendahkan Gita.
Kurang ajar benar pemuda itu, berani-beraninya dia berkata seperti itu didepan Gita. Lantas Gita semakin marah. Dan pemuda itu terasa tak asing bagi Gita, siapa dia?
“Siapa sich kamu..?!” Tanya Gita sinis. “pasti penculik atau…” tebak Gita mengada-ada.
“Atau apa?” Tanya pemuda itu singkat.
“Teroris mungkin!” lanjut Gita makin ngawur dengan imajinasi yang mengada-ada.
Pemuda itu terdiam dan menatap Gita dalam. Mata pemuda itu seakan mengajak Gita bicara dan mengingatkan Gita akan satu hal yang hampir ia lupakan begitu saja.
Titan! Iya, tak salah lagi, mata yang Gita tatap kini adalah mata indah Titan sahabat kecilnya. Itu benar-benar tatapan tajam Titan. Gita tak mungkin lupa dengan mata itu. mata Gita benar-benar tak berkedip sedikit pun. Dia masih belum yakin dengan hatinya.
“Kamu tak boleh berkata seperti itu, Gita!” nasihat pemuda itu menyebut namanya.
“Gita?! Dari mana kamu tahu namaku?!” Tanya Gita semakin penasaran.
Lagi-lagi pemuda itu tak berkata apa pun pada Gita, dia hanya menunjukkan ekspresi mata yang teramat tajam dan begitu kecewa. Gita tak mengerti, apa maksud semua ini? Apa rencanaMu ya Rabb..? begitu rumit dan membingungkan.
Gita teramat tak enak hati dengan ekspresi pemuda itu, dia takut dia marah dan dendam padanya akan sikapnya. Terlebih saat pemuda itu menasehatinya dengan ungkapan yang singkat namun bermakna.
Rindu itu cemburu. Dan cemburu itu bagai api yang membakar semak kering. Api yang dengan cepat menyala mengobarkan apa pun disekitarnya, tak terkecuali Cinta.” Kata-kata pemuda tampan itu amat riuh.
“Ucapkanlah Rindu dan Cinta karena keikhlasan, bukan karena cemburu.” Lanjutnya puitis. “dan berikanlah kerinduanmu tanpa harapan cinta.”
Kalimatnya terhenti, pemuda itu benar-benar ingin memberikan kesempatan pada Gita. Tapi Gita tak tahu lagi apa yang harus ia katakan, dia sudah benar-benar merasa bersalah. Bersalah dalam ia mengartikan sebuah perasaan dan perkataan.
Bersama pemuda itu dalam waktu yang lama tidak terlalu membosankan. Sama seperti saat Gita bersama Titan dulu. Tak ada cela yang menjadi alasan. Hanya senang, senang, dan senang yang selalu hadir. Demikian pula kali ini.
“Apa kamu benar-benar Titan?” Tanya Gita begitu lirih.
Pemuda itu tersenyum merebut tangan Gita dan menggenggamnya erat. Genggaman tangan pemuda itu membawa jemari Gita pada dada pemuda itu. Masihkah kau Gita ku yang dulu? Bisiknya. Sekejap hati Gita berdebar kencang. Tangannya dingin, matanya terus menatap pemuda itu. kata-kata pemuda itu makin meyakinkan Gita kalau dia adalah Titan.
“Aku tak perlu menjawab pertanyaanmu bukan?” pemuda itu menatap Gita penuh harap.
“…Titan?!...” teriak Gita pelan. “…aku rindu kamu… hiks!” isak Gita begitu bahagia.
Air mata Gita terus pecah diatas genggaman tangan pemuda itu. Dia benar-benar tak tahu bagaimana dia harus mengekspresikan rasa bahagianya kini.
“Stt…! Jangan minta dicintai, Gita! Belajarlah untuk memberi.” Ucapan si pemuda atau Titan mengiris perasaan Gita. “..memberikan cintamu.. Dan biarkan aku yang merindukanmu..” lanjut katanya membangkitkan Gita.
Tanpa menunggu lama, Gita segera memeluk sahabat lamanya itu erat tanpa menghiraukan apa-apa. Lama benar Gita berpisah dari Titan. Dan kini dia datang disaat hatinya sangat membutuhkan kesejukan. Engkau memang begitu adil ya Alloh.
Angin yang sepoi mengibarkan rambut panjang Gita yang terurai. Desingan angin menggetarkan hati Gita yang sedang berbahagia. Bayangan cintanya untuk Titan benar-benar menghias daun-daun disisi danau. Alangkah rindunya ia kali ini. Alangkah cintanya Gita. Titan benar-benar malaikat baginya.
TutyAir mata bercampur senyuman tertumpah di tubuh Titan yang Gita gapai. Nampaknya Gita benar-benar tak ingin berpisah dari Titan untuk kedua kalinya. Dan semoga semua ini merupakan awal kebahagiaan bagi Gita.




TAMAT
 

  



‘RINDUKU CINTAMU’; Cerita ini aku buat sekitar bulan November 2007 yang lalu. Tapi baru aku ketik tahun ini. Yaitu tanggal 26 januari 2009. Ini merupakan cerita keduaku, setelah sebelumnya aku membuat cerita yang berjudul ‘SONG FROM HEAVE’. Yang ku buat bulan Februari 2008.
 Ku buat cerita ini khusus buat semua orang yang selalu mengharapkan cinta dari orang lain. Selain itu, cerita ini juga mengingatkan kita agar tidak begitu mengharapkan perhatian apa lagi cinta dari seorang pria yang mungkin dianggap dekat dengan kita. Karena biasanya orang yang jauh dari kita justru lebih merindukan dan mengharapkan kita dibandingkan orang –orang yang dekat dengan kita.
Mudah-mudahan dengan cerita ini pembaca terhibur dan mendapat hikmah yang berlimpah. Dan mudah-mudahan pembaca puas dengan cerita ini.
Terima Kasih…

                                                                                                            Hastuty