Assalamu'alaikum

Rabu, 13 Oktober 2010

RINDUKU CINTAMU.....

 "Gita! Tunggu!!”
“Cepetan donk, Fi!” teriak Gita nyaris tak sabar. “apaan lagi sich, Fi?! Bodo akh!!” gadis dengan gaya cowo itu sewot melempar bola basket yang dipegangnya.
Mata Raffi tetap tak berkedip memandang indah gadis yang melintas dihadapannya. Tubuh Raffi terasa tak dapat digerakkan sedikitpun.
“Gita! Kamu lihat, kan?” Tanya Raffi. “Git..Gita..!”
Raffi meninggalkan lamunannya dan bergegas mencari Gita yang pergi entah kemana. Gadis cantik yang sempat Raffi pandang tadi membuatnya lupa akan Gita yang sedang menunggunya bermain basket.
“Loh! Gita! Kucari-cari, disini rupanya?” ujar Raffi.
“Ngapain juga nyariin aku!” lanjut Gita asam meninggalkan Raffi.
Raffi kemudian duduk dibangkunya, jam istirahat kelihatannya masih tersisa sekitar 5 menit. Raffi memanfaatkannya dengan mempersiapkan buku-buku yang akan digunakannya usai istirahat.
Raffi mencoba mengingat-ingat, sudah beberapa kali Gita marah tanpa sebab. Tak ada angin, apalagi hujan, tapi Gita sering sekali jengkel padanya.
Oleh karena itu Raffi hanya bisa diam saat Gita tengah melintas dihadapannya selepas jam ke-6, tepatnya saat bel istirahat kedua berbunyi. Meski ada beberapa hal yang kurang sreg, tapi Raffi mencoba bersabar menatap wajah Gita yang teramat sangar.
Gita mendekat dan memberikan sepatu Raffi yang ia pinjam kemarin. Ucapan terima kasih tak lepas dari bibirnya kala itu.
Raffi menatap ketakutan melihat ekspresi wajahnya istirahat tadi. Tapi Raffi senang sahabatnya itu akhirnya mau mengajaknya bicara juga dan meminta maaf pula.
“Ma kasih ya, Fi!” ucap Gita mengembalikan sepasang sepatu Raffi. “ma..ma...maafin aku tadi ya!” lirih Gita berkata-kata.
“Apa Git? Aku ga denger!” tambah Raffi.
“Maafin aku!!” teriak Gita menyodorkan tangannya.
Raffi keluar dari ruang kelas, mengacuhkan Gita yang minta maaf padanya. Ada setumpuk batu mengganjal didadanya saat ini. Raffi tak habis fikir kenapa sahabatnya itu selalu saja begitu. Sebentar marah, dan dengan mudah meminta maaf begitu saja.
Waktu serasa berjalan begitu cepat. Baru saja Raffi mengacuhkan Gita, kini sepulang sekolah menjadi detik-detik yang mendebarkan bagi Raffi. Dia memberanikan diri untuk datang ke kelas 1A, tempat gadis cantik yang Raffi lihat istirahat tadi.
Dengan perasaan berdebar-debar, Raffi melangkah dan dilihatnya gadis itu duduk di depan kelas sendirian. Raffi mendekat dan sepatah kata terucap begitu berat.
“Hai!” sapa Raffi begitu terbata-bata.
Kala itu, sang gadis yang sedang sibuk dengan NOVEL tebalnya menengok dan membalas sapaan Raffi. Segera gadis itu menutup dan menyimpan bacaannya pelan-pelan ke dalam tasnya.
“Sibuk ya?” Tanya Raffi basa-basi.
“Ga juga! Apa ada perlu sama aku, kak?” tanyanya begitu manis di hati Raffi.
“Aku..aku..., Raffi!” kenal Raffi memberikan tangannya pada sang gadis.
‘Rena’ begitulah gadis itu membalas sapaan Raffi barusan. Baru sebentar mereka berkenalan, perbincangan demi perbincangan nampaknya begitu kental diantara mereka. Canda tawa menghiasi perbincangan mereka yang seakan menghentikan waktu siang tadi.
Biar begitu, Raffi tak larut akan kebahagiaannya, terkadang dia mengingat wajah Gita melayang dalam pikirnya. Raffi selalu teringat canda Gita yang seolah mengajaknya bersama. Tak dapat dipungkiri, Raffi tak bisa marah apalagi membenci Gita. Sejak kecil mereka selalu bersama.
“Gita lagi ngapain sekarang ya? Pasti hatinya sedang terluka karena aku, tadi.” Tebak Raffi dalam batinnya.
 Raffi sadar benar kalau kelakuannya  pada Gita tadi siang telah meremukkan hati Gita. Tapi bagi Raffi bukan hanya perasaan Gita yang hancur, begitu pula dengannya.
Setelah Raffi mengakhiri kebersamaannya siang ini bersama Rena, Raffi berencana menemui Gita dan meluruskan masalah mereka tadi siang.
“Assalamu’alaikum..!” salam Raffi didepan rumah Gita.
“Wa’alaikumsalam..!” balas Bu Dewi membukakan pintu. “masuk, nak! Cari Gita ya?”
Jawaban singkat terucap darinya sebelum akhirnya Gita keluar dan menghampiri Raffi yang tengah duduk di teras depan. Nampaknya Gita masih begitu marah, itu terlihat dari caranya menatap Raffi. Sinis! Tapi hatinya tak mungkin tega mengacuhkan Raffi.
“Ngapain kesini?” Tanya Gita membuka percakapan dengan sinis.
Suasana ini benar-benar merobohkan niat baik Raffi, bagaimana tidak_Raffi sadar dia jarang sekali menginjakkan kaki di rumah Gita, kalau bukan untuk mengerjakan tugas.
“Kok gitu ngomongnya sich? Aku kan jadi ga enak sendiri.” Katanya begitu ragu.
“Udah! Cepet, ngomong aja! Ga da waktu buat ngomong sama cowo sombong kayak kamu!” cela Gita begitu mengiris hati Raffi.
Dengan penuh keyakinan Raffi pun benar-benar menjalankan niatnya. Kata maaf begitu dekat pada diri Raffi malam itu, berjuta penyesalan seakan menggantung di pundak Raffi. Gita takjub! Raffi minta maaf?   
“Bisa minta maaf juga?!” Tanya Gita masih dengan nada menyebalkan.
“…hm..tadi aku ga bermaksud kayak gitu..aku benar-benar emosi…” jelas Raffi meyakinkan kata-katanya dan terus meyakinkannya pada Gita. Raffi tak mau terbalenggu dosa, dosa karena perlakuannya pada Gita.
“Apa aku ga salah denger nich?” ledek Gita senyam-senyum.
“Beneran Git! Maafin aku ya! Please!!” pinta Raffi merebut kedua tangan Gita.
Gita benar-benar terharu, hatinya yang kikis serasa segar kembali dengan datangnya embun-embun yang Raffi bawa untuknya.
Waktu terus berputar, Raffi maupun Gita menikmati harinya seperti biasa. Dan Rena terlihat semakin akrab dengan Raffi kakak kelasnya itu.
Raffi lebih banyak meluangkan waktunya untuk gadis cantik itu. Apakah wajah Gita sudah tak lagi membayangi hari-hari Raffi? Hingga Raffi mantap dengan keputusannya yang mungkin sulit Gita terima. Dan semua itu jauh dari pikiran Raffi.
Gita tahu semuanya, Gita tetap ingin melapangkan hatinya, Gita tak boleh marah, Gita tak ingin air matanya pecah untuk Raffi. Gita ingin tersenyum untuk Raffi.
“Gita!” panggil Raffi girang. “tadi aku…”
“Iya..aku tahu! Terus?” lanjut Gita dengan pertanyaan singkat.
Gita terus mengacuhkan Raffi yang sejak tadi terus mengejar Gita. Raffi tak bisa membaca hati Gita saat ini. Karena mata hati Raffi tengah tertutup oleh cinta Rena.
“Gita..! kamu kenapa sich?” Tanya Raffi begitu penasaran. “katanya tahu..! ya..kasih selamat kek, apa gitu..! jangan diem aja donk!” rayu Raffi.
Mungkin mata Gita memang tak mengucurkan air mata, tapi hati Gita benar-benar dibahasi air mata luka. Hatinya seakan tertusuk duri yang penuh benci. Pikirannya kosong, langkahnya begitu mati dan berat. Tapi satu yang ia ingat, dia harus menerima kenyataan yang berat ini. Membiarkan hatinya rapuh terkikis cermin hatinya sendiri.
“Selamat ya..! aku turut berbahagia.” Ucap Gita begitu lirih dan renyuh. Kata-kata itu benar-benar membahagiakan Raffi yang dengan lembut memeluk tubuh Gita yang hampa.
Jiwa tak bisa mengendalikan kesesatan hati. Gelora hati berhiaskan gelap dan terang. Hitam menggumpal, luka jiwa terasa perih. Seribu mimpi, berjuta angan hanyalah seengok angan kosong. Dan hanya harapan semu yang terus bertahta.
Bila hati berselimut benci, mata hati dibutakan dendam, iblis menari mengalun sukma. Memori kebahagiaan terasa musnah.
Itulah yang Gita rasakan saat ini. Sakit melihat Raffi yang berhias Rena. Sakit bila harus menerima. Dan sakit jika dia tetap seperti ini.
Kesunyian kata terlukis pada diri Gita. Ucapannya seakan menjadi kenyataan yang berarti. Segenggam lumpur mengotori ruang hatinya. Taman hati  porak poranda diterjang angin kebencian.
Dia teringat akan kata-kata ibunya yang riuh didengar,, kata-kata yang halus ditelinga. Tapi dapat menyakitkannya kini. ‘Rindu dan Cinta’, itulah ungkapan dalam yang selalu jadi tanda Tanya besar baginya.
Kini hati Gita dipenuhi dengan hitam. Api membara menghanguskan segalanya. Cahaya seakan tak bisa menembus jendela hatinya. Kecuali satu hal yang tak Gita ketahui dari illahi.
“Ibu bohong!” teriak Gita begitu sengit didengar. “ibu bilang, Gita rindu ayah karena ayah cinta Gita! Tapi kenapa ga buat Raffi?!” isak Gita melempar kerikil ke kolam kecil belakang sekolah.
Ini kerikil Gita yang terakhir, dia sengaja tak melemparkannya ke danau, tapi ke arah orang yang Gita pikir memata-matainya. Aow! Dan dari situlah Gita tahu makna Rindu dan Cinta itu.
“Aow!!” teriak pemuda itu ketika kerikil mengenai kepalanya.
“He! Nguping ya?!” bentak Gita sadis.
“Ya jelas! Orang aku punya kuping!” celetusnya santai.
Jawaban itu makin membuat Gita naik darah, dia heran. Siapa sebenarnya orang ini. Apa maunya, dan apa maksudnya. Cukup sudah Gita bertanya-tanya, pemuda itu mengawali perbincangan yang berarti.
Rindu dan Cinta? Hm..pertanyaan yang sulit.” Kata  pemuda itu mengulang pertanyaan Gita. “aku saja tak tahu apalagi kamu..” lanjutnya merendahkan Gita.
Kurang ajar benar pemuda itu, berani-beraninya dia berkata seperti itu didepan Gita. Lantas Gita semakin marah. Dan pemuda itu terasa tak asing bagi Gita, siapa dia?
“Siapa sich kamu..?!” Tanya Gita sinis. “pasti penculik atau…” tebak Gita mengada-ada.
“Atau apa?” Tanya pemuda itu singkat.
“Teroris mungkin!” lanjut Gita makin ngawur dengan imajinasi yang mengada-ada.
Pemuda itu terdiam dan menatap Gita dalam. Mata pemuda itu seakan mengajak Gita bicara dan mengingatkan Gita akan satu hal yang hampir ia lupakan begitu saja.
Titan! Iya, tak salah lagi, mata yang Gita tatap kini adalah mata indah Titan sahabat kecilnya. Itu benar-benar tatapan tajam Titan. Gita tak mungkin lupa dengan mata itu. mata Gita benar-benar tak berkedip sedikit pun. Dia masih belum yakin dengan hatinya.
“Kamu tak boleh berkata seperti itu, Gita!” nasihat pemuda itu menyebut namanya.
“Gita?! Dari mana kamu tahu namaku?!” Tanya Gita semakin penasaran.
Lagi-lagi pemuda itu tak berkata apa pun pada Gita, dia hanya menunjukkan ekspresi mata yang teramat tajam dan begitu kecewa. Gita tak mengerti, apa maksud semua ini? Apa rencanaMu ya Rabb..? begitu rumit dan membingungkan.
Gita teramat tak enak hati dengan ekspresi pemuda itu, dia takut dia marah dan dendam padanya akan sikapnya. Terlebih saat pemuda itu menasehatinya dengan ungkapan yang singkat namun bermakna.
Rindu itu cemburu. Dan cemburu itu bagai api yang membakar semak kering. Api yang dengan cepat menyala mengobarkan apa pun disekitarnya, tak terkecuali Cinta.” Kata-kata pemuda tampan itu amat riuh.
“Ucapkanlah Rindu dan Cinta karena keikhlasan, bukan karena cemburu.” Lanjutnya puitis. “dan berikanlah kerinduanmu tanpa harapan cinta.”
Kalimatnya terhenti, pemuda itu benar-benar ingin memberikan kesempatan pada Gita. Tapi Gita tak tahu lagi apa yang harus ia katakan, dia sudah benar-benar merasa bersalah. Bersalah dalam ia mengartikan sebuah perasaan dan perkataan.
Bersama pemuda itu dalam waktu yang lama tidak terlalu membosankan. Sama seperti saat Gita bersama Titan dulu. Tak ada cela yang menjadi alasan. Hanya senang, senang, dan senang yang selalu hadir. Demikian pula kali ini.
“Apa kamu benar-benar Titan?” Tanya Gita begitu lirih.
Pemuda itu tersenyum merebut tangan Gita dan menggenggamnya erat. Genggaman tangan pemuda itu membawa jemari Gita pada dada pemuda itu. Masihkah kau Gita ku yang dulu? Bisiknya. Sekejap hati Gita berdebar kencang. Tangannya dingin, matanya terus menatap pemuda itu. kata-kata pemuda itu makin meyakinkan Gita kalau dia adalah Titan.
“Aku tak perlu menjawab pertanyaanmu bukan?” pemuda itu menatap Gita penuh harap.
“…Titan?!...” teriak Gita pelan. “…aku rindu kamu… hiks!” isak Gita begitu bahagia.
Air mata Gita terus pecah diatas genggaman tangan pemuda itu. Dia benar-benar tak tahu bagaimana dia harus mengekspresikan rasa bahagianya kini.
“Stt…! Jangan minta dicintai, Gita! Belajarlah untuk memberi.” Ucapan si pemuda atau Titan mengiris perasaan Gita. “..memberikan cintamu.. Dan biarkan aku yang merindukanmu..” lanjut katanya membangkitkan Gita.
Tanpa menunggu lama, Gita segera memeluk sahabat lamanya itu erat tanpa menghiraukan apa-apa. Lama benar Gita berpisah dari Titan. Dan kini dia datang disaat hatinya sangat membutuhkan kesejukan. Engkau memang begitu adil ya Alloh.
Angin yang sepoi mengibarkan rambut panjang Gita yang terurai. Desingan angin menggetarkan hati Gita yang sedang berbahagia. Bayangan cintanya untuk Titan benar-benar menghias daun-daun disisi danau. Alangkah rindunya ia kali ini. Alangkah cintanya Gita. Titan benar-benar malaikat baginya.
TutyAir mata bercampur senyuman tertumpah di tubuh Titan yang Gita gapai. Nampaknya Gita benar-benar tak ingin berpisah dari Titan untuk kedua kalinya. Dan semoga semua ini merupakan awal kebahagiaan bagi Gita.




TAMAT
 

  



‘RINDUKU CINTAMU’; Cerita ini aku buat sekitar bulan November 2007 yang lalu. Tapi baru aku ketik tahun ini. Yaitu tanggal 26 januari 2009. Ini merupakan cerita keduaku, setelah sebelumnya aku membuat cerita yang berjudul ‘SONG FROM HEAVE’. Yang ku buat bulan Februari 2008.
 Ku buat cerita ini khusus buat semua orang yang selalu mengharapkan cinta dari orang lain. Selain itu, cerita ini juga mengingatkan kita agar tidak begitu mengharapkan perhatian apa lagi cinta dari seorang pria yang mungkin dianggap dekat dengan kita. Karena biasanya orang yang jauh dari kita justru lebih merindukan dan mengharapkan kita dibandingkan orang –orang yang dekat dengan kita.
Mudah-mudahan dengan cerita ini pembaca terhibur dan mendapat hikmah yang berlimpah. Dan mudah-mudahan pembaca puas dengan cerita ini.
Terima Kasih…

                                                                                                            Hastuty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar