Assalamu'alaikum

Kamis, 30 Desember 2010

JENIS-JENIS CINTA

Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh… Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan, hingga terbitlah artikel cinta ini, selamat membaca…

JENIS – JENIS CINTA

Siapa yang tak kenal cinta? Ya, tentunya sebagian besar dari kita tak asing lagi dengan cinta. Karena manusia yang hidup di dunia pasti dengan cinta. Cinta memiliki beberapa jenis dan golongan serta beberapa terapi – terapinya. Untuk itu, mari kita simak bersama-sama jenis-jenis cinta yang ada untuk menambah pengetahuan kita mengenai cinta.
Apa itu CINTA? Cinta merupakan perasaan sayang, senang, bahagia, bangga, haru bahkan kasih kepada sesuatu hal yang didasari karena maksud – maksud tertentu yang pada akhirnya menginginkan untuk memiliki dan seterusnya. Selain itu, cinta dapat didefinisikan sebagai ungkapan hati seseorang yang tergambar lewat tingkah lakunya serta didasari atas kesamaan atau kecocokan masing-masing umat dalam hal-hal tertentu.
Banyak orang yang mendefinisikan cinta tidak sesuai dengan hakikatnya, ada yang beranggapan bahwa cinta itu hanyalah sekedar suka sama suka. Padahal bukan itu yang dimaksud, cinta disini merupakan bagaimana kita bisa menempatkan cinta diantara hal-hal penting lainnya, dan tidak mengabaikan hal-hal yang lebih penting dari itu serta menjadikan cinta itu sebagai ibadah serta pelabuhan pengiring menuju kehidupan selanjutnya. Misalnya saja, cinta itu memiliki tujuan dan kira-kira apa motivasi kita memiliki dan memberikan cinta kepada sesuatu? Apakah untuk dirinya sendiri, atau demi kepentingan pekerjaan, atau bahkan sekedar hiburan semata? Itulah, yang seperti itu termasuk kedalam jenis-jenis cinta yang akan penulis bahas pada artikel ini.
Yang Pertama; Mahabbatu Fillah Wa Lillah, cinta jenis ini merupakan cinta yang paling mulia. Yakni cinta karena Allah dan didalam agama Allah, maksudnya cinta yang mengharuskan mencintai apa-apa yang dicintai Allah yang dilandaskan cinta kepada Allah dan Rasulnya. Jika kita bisa seperti ini, alangkah mulianya manusia itu sendiri. Karena sesungguhnya Allah-lah yang mengajarkan kita tentang cinta.
Kedua; cinta yang terjalin karena adanya kesamaan dalam cara hidup, agama, mazhab, idiologi, hubungan kekeluargaan, profesi dan kesamaan dalam hal-hal lainnya. Cinta jenis ini sering disebut cinta lokasi. Karena kesamaan dan kedekatan adalah hal yang dominan dalam hal ini. Hmm, kalau menurut pendapatku cinta yang seperti ini sangat sering terjadi di sekitar kita. Kebanyakan dari kita mencintai seseorang atau terikat suatu hubungan karena pertemuan di tempat yang sama. Mungkin karena sering bertemu dan melakukan komunikasi bersama. Itulah yang menjadi factor timbulnya cinta macam ini.
Ketiga; Al Mahabbah Al ‘ardiyah, cinta yang motifnya ingin mendapatkan sesuatu dari yang dicintainya, baik dalam bentuk kedudukan, harta, pengajaran dan bimbingan atau pun kebutuhan biologis. Cinta yang semacam ini akan hilang bersama hilangnya apa-apa yang didapatnya dari orang yang dicintai. ‘Habis manis sepah dibuang’, begitu kira-kira ungkapan yang tepat. Cinta ini sering orang sebut sebagai cinta bersyarat, karena salah satu pihak pasti menginginkan sesuatu persyaratan yang harus dipenuhi, misalnya saja dengan kita memberikan apa yang pihak itu minta, maka orang tersebut mau menerima cinta kita. Dan yakinlah bahwa orang yang mencintaimu karena sesuatu akan meninggalkanmu ketika dia telah mendapatkan apa yang didinginkannya darimu. Jadi, berhati-hatilah! Ouw… penulis jelas ga mau mendapatkan cinta yang seperti ini.
Keempat; Mahabbah Al Isyq, yakni cinta yang berlandaskan kesamaan dan kesesuaian antara yang mencintai dan yang dicintai. Cinta yang tak akan sirna kecuali jika ada sesuatu yang menghalangkannya. Cinta jenis ini yaitu perpaduannya ruh dan jiwa, oleh karena itu tidak terdapat pengaruh yang begitu besar baik berupa rasa was-was, hati yang gundah gulana maupun kehancuran kecuali pada cinta jenis ini. Orang lebih akrab menyebutnya cinta mati atau bertemunya ikatan batin dan ruh yang hanya terjadi pada orang yang sedang kasmaran. Meskipun demikian, akankah cinta bertepuk sebelah tangan? Mari kita ulas bersama-sama.
Akankah CINTA bertepuk sebelah tangan? Padahal cinta mati, kekal, dan sungguh abadi. Jawabnya, BISA! Mengapa? Sebelumnya kita harus mengerti apa itu Bertepuk sebelah tangan. Cinta yang bertepuk sebelah tangan merupakan tidak terpenuhinya hasrat sebab kurangnya syarat-syarat tertentu, atau adanya penghalang sehingga tidak terealisasinya cinta antara keduanya. Ukh, gimana rasanya ya…? Penulis ga bisa bayangin nich… hehe. Ok berikut merupakan sebab-sebab cinta bertepuk sebelah tangan. Pertama; cinta ini sebatas cinta karena kepentingan, oleh karena itu tidak mesti keduanya saling mencintai, terkadang yang dicintai malah lari darinya. Ya jelas aja, penulis aja paling benci sama seseorang yang naksir begitu berlebihan. Hal tersebut bisa bikin persahabatan hancur. Males banget kan…
Kedua; adanya penghalang sehingga dia tidak dapat mencintai orang yang dicintainya, baik karena adanya cela dalam akhlak, bentuk rupa, sikap dan yang lainya. Ini sich buat orang-orang yang lebih mementingkan karakter atau terpaku dengan syarat-syarat. Cinta itukan apa adanya. hehe
Ketiga; adanya penghalang dari pihak orang yang dicintai. Jika penghalang dapat di singkirkan maka akan terjalin bunga cinta antara keduanya. Kalau bukan karena kesombongan, hasad, cinta kekuasaan dan permusuhan dari orang kafir, niscaya para Rasul-rasul akan menjadi orang yang paling mereka cintai lebih dari cinta mereka kepada diri, keluarga dan harta.
Adapun terapi Al Isyq atau cinta mati yang berujung cinta bertepuk sebelah tangan antara lain. Pertama; jika terdapat peluang bagi orang yang sedang kasmaran tersebut untuk meraih cinta orang yang dikasihinya dengan ketentuan syariat dan suratan takdirnya, maka inilah terapi yang paling utama.
Sahihain riwayat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Rasulullah SAW bersabda; “Hai sekalian pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka hendaklah dia menikah, barang siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa karena dengan berpuasa dapat menahan dirinya dari ketergelinciran (kepada perbuatan zina).”
Jadi, berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa solusi yang mesti dilakukan adalah menikah. Selain itu, Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Aku tidak pernah melihat ada dua orang yang saling mengasihi selain melalui jalur pernikahan.”
Kedua; meyakinkan dirinya bahwa apa-apa yang diimpikannya mustahil terjadi, lebih baik baginya untuk segera melupakannya. Jiwa yang berputus asa untuk mendapatkan sesuatu, niscaya akan tenang dan tidak lagi mengingatnya. Jika ternyata belum terlupakan, akan berpengaruh terhadap jiwanya sehingga semakin menyimpang jauh. Untuk itu, dia harus mengajak akalnya berfikir bahwa menggantungkan hatinya kepada sesuatu yang mustahil dapat dijangkau adalah perbuatan gila, ibarat pungguk merindukan bulan. Orang akan menganggapnya termasuk ke dalam kumpulan orang-orang yang tidak waras.
Maka, apabila mendapatkan cintanya benar-benar tertutup karena larangan syariat, terapinya adalah menganggap bahwa yang dicintainya itu bukan ditakdirkan menjadi miliknya. Jalan keselamatan adalah dengan menjauhkan dirinya dari yang dicintainya. Dia harus merasa bahwa pintu kearah yang diinginkannya tertutup dan mustahil dicapai.
Ketiga; jika jiwa menghasud dalam kemunkaran masih menuntut, hendaklah dia mau meninggalkannya karena 2 hal. Yakni dengan takut kepada Allah dengan menumbuhkan perasaan bahwa ada hal yang lebih layak dicintai, lebih bermanfaat, lebih baik dan lebih kekal. Orang yang berakal jika menimbang-nimbang antara mencintai sesuatu yang cepat sirna dengan sesuatu yang lebih layak untuk dicintainya, lebih bermanfaat, lebih kekal dan lebih nikmat, akan memilih yang lebih tinggi derajatnya. Jangan sampai kamu menggadaikan kenikmatan abadi yang tidak terlintas didalam pikiranmu dengan kenikmatan sesaat yang segera berbalik menjadi sumber penyakit. Ibarat orng bermimpi indah atau pun mengkhayal terbang melayang jauh, ketika tersadar ternyata hanyalah mimpi dan khayalan. Akhirnya sirnalah segala keindahan semu, tinggal keletihan, hilang hawa nafsu dan kebinasaan menunggu.
Kemudian, keyakinan bahwa berbagai resiko yang sangat menyakitkan akan ditemuinya jika dia gagal melupakan yang dikasihinya, dia akan mengalami dua hal yang menyakitkan sekaligus. Yaitu gagal dalam mendapatkan kekasih yang diinginkannya, serta bencana menyakitkan dan siksa yang pasti akan menimpanya. Jika yakin bakal mendapati dua hal ini niscaya akan mudah meninggalkan perasaan ingin memiliki yang dicintai. Kamu akan berpikir bahwa sabar menanti diri itu lebih baik.
Akal, agama, harga diri dan kemanusiaannya akan memerintahkannya untuk bersabar sedikit demi mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Sementara kebodohan, hawa nafsu, kedzalimannya kan memerintahkannya untuk mengalah mendapatkan apa yang dikasihinya. Orang yang terhindar adalah orang-orang yang dipelihara oleh Allah.
Keempat; jika hawa nafsunya masih ngotot dan tidak terima dengan terapi ketiga, maka berfikirlah mengenai dampak negative dan kerusakan yang akan ditimbulkannya segera dan kemaslahatannya yang akan gagal diraihnya. Sebab mengikuti hawa nafsunya akan menimbulkan kerusakan dunia dan menepis kebaikan yang datang, lebih parah lagi dengan memperturutkan hawa nafsu. Ini akan menghalanginya untuk mendapat petunjuk yang merupakan kunci keberhasilannya dan keselamatan baginya.
Kelima; jika tidak mempan juga, maka hendaklah kamu selalu mengingat sisi-sisi kejelekan orang yang dikasihi dan hal-hal yang membuatmu menjauh darinya, jika kamu mau mencari-cari kejelekan yang ada pada orang tersebut niscaya kamu akan mendapatkan yang lebih dominan dari keindahan kekasih. Hendaklah kamu banyak bertanya kepada orang-orang yang berada disekeliling kekasihmu tentang berbagai kejelekan yang tersembunyi. Sebab sebagian fisik adalah factor pendorong seseorang untuk mencintai seseorang, demikian pula kejelekan adalah pendorong kuat agar kamu dapat membencinya dan menjauhinya. Hendaknya kamu mempertimbangkan dua sisi ini dan memilih yang terbaik baginya. Jangan sampai terperdaya dengan kecakapan wajah/kulit dengan membandingkannya dengan orang yang terkena penyakit sopak dan kusta, tetapi kamu harus memalingkan pandanganmu kepada keyakinan sikap dan perilakunya. Sebaiknya kamu tutup matamu dari keindahan fisik semata dan melihat kepada kejelekan yang diceritakan mengenainya dan kejelekan hatinya.
Keenam atau yang terakhir; mengadu dan memohon dengan jujur kepada Allah SWT yang senantiasa menolong orang-orang yang ditimpa musibah. Jika memohon kepadaNya hendaklah dia menyerahkan jiwa sepenuhnya dihadapan kebesaranNya, sambil memohon, merendah dan menghinakan diri. Jika dia dapat melaksanakan terapi akhir ini, maka sesungguhnya dia telah membuka pintu taufik (pertolongan Allah).
Hendaklah dia berbuat iffah (menjaga diri) dan menyembunyikan perasaannya, jangan sampai dia menjelek-jelekan kekasihnya dan mempermalukannya dihadapan manusia, ataupun menyakitinya, sebab hal tersebut adalah kedzaliman dan melampaui batas.
Yups! Mudah-mudahan dengan adanya artikel ini, teman-temanku sekalian dapat lebih mengerti tentang makna sekaligus jenis-jenis cinta.
Akhirnya, salam dahsyat dan lahirlah cinta islam yang kokoh! Billahi Taufik Wal Hidayah, Wassalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh…

PENUTUP
Demikianlah kiat-kiat khusus untuk menyembuhkan penyakit ini. Namun ibarat kata pepatah: mencegah lebih baik dari pada mengobati, maka sebelum terkena virus tersebut diatas, lebih baik menghindari. Betul tidak? Tapi gimana cara menghindarinya? Tidak lain dengan cara Tazkiyatun Nafs. Semoga pembahasan ini bermanfaat dan dapat dijadikan pertimbangan bagi para pembaca. Syukron…
Wassalamu'alaikum Warohmatullah Wabarokatuh...



Hastuty ^_^

Kamis, 09 Desember 2010

Belum Ada Judul

“Muhammad Arsenna....” sapa salah seorang wartawan yang hendak mewawancarainya. “... bagaimana komentar anda tentang penerbitan novel anda yang memperoleh best seller ini...?”
“Terima kasih untuk semuanya...” jawab Arsenna singkat. “...permisi...”
Arsenna, pemuda yang memiliki segudang bakat ini selalu enggan bila dimintai keterangan. Ia memilih pergi meninggalkan pemburu berita dan hidup di dunianya sendiri.
“Senna...” sapa Kumala tersenyum padanya. Arsenna mendekat dan tersenyum kecil pada gadis manis itu, ya Kumala.
“Sepertinya didepan ramai sekali...” kata Kumala sambil merapikan rambutnya sebelum ia masuk kelas.
“Heh...! didepan Cuma orang kurang kerjaan.” Komentar Arsenna menyebalkan. Kumala tersenyum sambil meninggikan alas kakinya. Ia berdiri sambil merogoh saku almamaternya, diambil sebuah kertas kecil dan diberikan pada Arsenna.
“Ini titipan dari bang Izzal.” Katanya menyerahkan kertas tersebut. “... semalem abang nelfon, tapi kamu ga ngangkat...”
“Maaf... semalam aku ketiduran...” ucap Arsenna singkat.
“Ho... aku tahu kesibukanmu, tapi jaga kesehatanmu juga...” nasihat Kumala lembut.
Sejenak keduanya terdiam. “Senna....”
“Hmm...”
“Liburan nanti aku mau pergi ke ‘Danau’...” Kabar Kumala tersenyum ceria.
“Apa hubungannya denganku?” tanya Arsenna cuek.
“Abah minta kamu nemenin aku ke ‘danau’, gimana?” jelas Kumala.
“Tidak...!” tolak Arsenna mendekat Kumala.
Kumala hanya bisa diam, penolakan Arsenna sungguh menakutkan, mungkin Arsenna masih trauma dengan liburan tahun lalu. Ia nyaris hampir tenggelam di tengah lautan lepas.
“Dulu kan laut... dan sekarang...” bela Kumala.
“Danau... apa bedanya, Mala...?! sama-sama air, kan?” tegas Arsenna tetap pada pendiriannya.
“Hey...!” sapa Yoan. “...asyik banget ngobrolnya...”
“Yoan...!” kata Mala tersenyum padanya. “...aku akan berlibur ke danau...”
“Danau...? Wow...!! fantastic...! aku suka danau... sama siapa, Mala...?” tanya Yoan begitu bersemangat.
“Aku dan ....” kata-kata Kumala terhenti, ia terdiam. Kedua matanya melirik ke arah Arsenna dan kemudian menggandeng tangan Yoan sahabatnya. “...aku dan Yoan pastinya...”
Situasi sekolah kali ini tidak efektif, para guru sibuk mempersiapkan ujian akhir kelas XII akibatnya seluruh mata pelajaran kelas X dan XI tidak efektif seperti biasa. Dan siswa siswi hanya asyik mempersiapkan liburan mereka.
“Senna...!” panggil Kumala seraya mengejar Arsenna yang sudah jauh di depan. “...tunggu aku, Sen...”
“Aku kira kamu sudah pulang duluan.”
“Hmm... gimana dengan ‘danau’-nya...?” tanya Kumala mencoba membujuk Arsenna lagi.
“Tidak... sebentar lagi ujian kenaikan...” jawabnya tetap menolak dan terus berjalan meninggalkan Kumala.
“Ar... Senna...” ucap Kumala lirih penuh kecewa.
Malam pun beranjak, esok pagi anak-anak kelas XI melaksanakan pra liburan dengan bercamping di sebuah perbukitan. Kala itu Mala begitu bersemangat menyambutnya, ia datang begitu cepat agar tidak sampai ketinggalan yang lain. Sementara itu, Arsenna belum terlihat batang hidungnya sejak tadi. Mata Kumala terus mencari Arsenna yang terlambat. Kumala tersenyum tatkala melihat Arsenna berlari menuju rombongan dengan terengah-engah.
“Maaf.... aku terlambat...” ucap Arsenna terbata-bata.
“Ku kira kamu lupa, Sen...” kata Kumala membuat Arsenna tersenyum kecil.
Sepanjang perjalanan Arsenna tak lepas dari ballpoint serta buku kecilnya. Kumala tersenyum menatapnya, pasti akan ada ide besar yang diciptakannya.
“Wah... ini baru refreshing... segar dan jauh dari polusi...” Kata Yoan terkagum-kagum.
Perlahan Arsenna mendekati Kumala dan berdiri persis disamping Kumala. “Senna... apa yang kamu pikirkan?” tanya Kumala dengan menebarkan senyumnya.
“Tidak... tempat ini indah, hijau, bersih... tapi... berbahaya...” kata Arsenna amat serius. “... jangan pergi jauh dari lokasi tenda... berhati-hatilah...” nasihat Arsenna dalam.
Kumala menoleh, dilihatnya Yoan yang sepertinya akan pergi. “Yoan... mau kemana?”
“Cari kayu bakar buat nanti malam, pasti seru...” jelasnya gembira.
“Hmm... aku temenin ya...! sama Arsenna juga. Iya kan, Sen...?”
Yoan menarik tangan Kumala; “Jangan... tetap disamping Arsenna, siapa tahu ada sesuatu yang ingin ia katakan...” bisik Yoan lirih.
“Ha...?! hem...” angguk Kumala setuju. “...hati-hati Yoan, ayo Sen...!”
“Ingat... jangan pergi jauh dari tenda... mengerti?!” nasihat Arsenna lirih. “...percayalah...”
Mereka berdua melanjutkan jalan-jalan mereka di sekitar tenda, Mala sedang mencari tempat yang bagus untuk mengambil gambar, sementara Arsenna terus berjalan di belakang Kumala sambil mengamati apa yang ada di sana sambil menjaga amanat Abah Kumala.
“Disini lebih bagus... Foto-in aku ya, Sen...!” pinta Kumala. “...sekarang kita foto berdua... OK...!”
“Hmm... Mala...” gumam Arsenna.
“Arsenna...! senyum donk...!! ciss!!!”
Alampun semakin gelap, anak-anak mulai bergegas memasuki tenda masing-masing.
“Akh...!!!” teriak Kumala membuat Arsenna berlari menuju tenda Kumala. “...Yoan ga ada, Sen...”
Malam itu seluruh murid sibuk mencari keberadaan Yoan yang menghilang sejak siang tadi.
“Yoan, kalau kamu kenapa-napa... Hiks...” tangis Kumala merunduk.
“Kamu jangan khawatir, semua akan baik-baik saja.” Ucap Arsenna memegang bahu Kumala hendak menengankannya. “...ini sudah malam, kembali ke tenda, dan istirahatlah...”
Arsenna bersama siswa laki-laki lainnya terus berjalan menelusuri hutan perbukitan yang gelap. Arsenna memulainya dari tempat awal Yoan pergi, tanpa disadari Kumala mengikutinya dari belakang.
“Aku takut terjadi apa-apa pada Yoan...” kata Kumala sedih. “...Yoan teman baikku, sahabat terbaikku...”
Arsenna terus meantap Kumala. “Baiklah, aku mengerti perasaanmu.”
“Kamu tahu tempat ini, Sen...?” tanya Kumala penasaran.
“Iya... tempat ini pernah aku jadikan obyek novelku. Karena misterinya...” jelas Arsenna terus berjalan menyusuri hutan.
“Misteri...???”
“Beberapa tahun yang lalu ada seorang pendaki yang ditemukan tewas di hutan ini.” Cerita Arsenna. “...ia terpisah dari rombongannya dan diduga tersesat dan kehabisan bahan makanan...”
Cerita Arsenna sontak membuat Kumala shock dan menitikkan air mata.
“Tidak...! berpikirlah positif... semua itu tidak akan terjadi...” kata Arsenna mengingatkan Kumala. “...kamu ingat waktu aku terjatuh dan nyaris tenggelam di tengah lautan lepas...? Aku bisa selamat, Mala...”
“Tapi Yoan bukan kamu, Senna... Jika dia kenapa-napa, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri...” janji Kumala menitikkan air matanya.
“Lihat aku Mala...! Aku janji Yoan pulang dalam keadaan selamat...” janji Arsenna. “...dan aku akan menemani kamu liburan ke danau... naik perahu... memancing... foto-foto bersama... Dan....” Arsenna menghentikan kata-katanya sambil terus menatap Kumala.
“Dan... Apa?” tanya Kumala penasaran.
“Lupakan saja...” katanya memalingkan wajah. “... sebaiknya kita kembali ke tenda, besok kita cari lagi...”
Arsenna berjalan menuju tenda tempat ia istirahat, begitupun dengan Kumala yang terlihat begitu lelah.
“Senna...!” panggil Kumala. Arsenna menoleh, matanya sayu dan kelelahan. “...selamat malam, Senna...” Arsenna hanya tersenyum kecil dan kembali berjalan ke tendanya.
Malam ini malam pertama mereka di perbukitan, tapi malam ini juga malam yang begitu menyakitkan dan menyedihkan. Satu siswa hilang, Arsenna tak bisa membiarkan ini, Yoan bukan hanya sahabat Kumala, tapi dia sahabatnya juga.
Sepertinya pagipun mulai kembali membangunkan mereka. Arsenna yang lelah telah segar kembali, ia pergi menuju tenda Kumala. Tapi mengejutkan, Kumala tidak berada di sana. Kumala menghilang...
“Mala...!!!!!” teriak Arsenna. Semua kembali sibuk mencari dua orang teman mereka. Semua sedih, semua tak percaya semua akan seperti ini.
“Arsen... kamu punya ide buat mencari teman-teman kita?” tanya salah seorang teman Arsenna.
“Nothing... aku bingung...” kata Arsenna dengan mata yang berkaca-kaca.
Perlahan, Arsenna kembali menelusuri hutan lagi. Mala mau melakukan apa saja untuk Yoan sahabatnya dan Kumala bukan gadis yang pendek akal, kalau ia nekat ia pasti meninggalkan petunjuk.
Sementara itu, Kumala yang nekat masuk hutan yang gelap itu nampaknya telah menemukan keberadaan Yoan sahabatnya.
“Yoan... kamu di situ , Yoan...??” sapanya ragu.
“Ma... ma...la...” panggil Yoan yerbata bata.
“Yoan...!!!” teriak Kumala meneteskan air mata dan segera berlari mengejar Yoan. Kumala memeluk erat Yoan, air matanya terus mengalir. Begitu juga Yoan yang tak henti-hentinya menangis dalam pelukan sahabat tercintanya. Tiba-tiba Yoan melepaskan dekapan Kumala.
“Kenapa kamu kesini...! kalau kita tidak bisa pulang gimana...?!!!” Tegas Yoan dengan nada tinggi.
“Kamu jangan khawatir, Yoan...” nasihat Kumala. “...Arsenna pasti akan datang kesini... kamu percaya, kan...?” lanjutnya sambil memperlihatkan fotonya bersama Arsenna siang lalu.
“Di saat-saat seperti ini kamu masih bisa ingat dia...?” tanya Yoan heran. “...Mala.... aku takut banget disini...”
“Yoan, aku ada disini...”
“Kalau begitu, ayo kita tinggalkan tempat ini, Mala...” ajak Yoan.
“Ga bisa Yoan... ga bisa...”
“Kenapa...??”
Matanya melihat ke bawah dan tangannya memgang kakinya yang terkilir akibat terjatuh di jurang itu. “...kamu naik dan cari pertolongan, bilang Senna, kalau aku ada disini...”
“Tapi, Mala...”
“Aku mohon... Aku percaya Arsenna tahu aku ada disini... Oke...”
Atas permintaaan Kumala, Yoan pun bangkit dan mulai berusaha kembali untuk mencari pertolongan. Ia berjuang amat keras, lelah dan dingin. Sesampainya di atas Yoan gembira dan pada saat itu kesadarannya pun turun dan... Yoan tak sadarkan diri. Sementara itu Arsenna terus berlari mencari Kumala dan Yoan, seluruh hutan ia jelajahi sendirian. Ia tak tahu arah, ia hanya berpegang pada ceritanya tentang hutan ini, tentang imajinasinya, khayalannya... hingga akhirnya ia menemukan sebuah disc yang bertuliskan ‘Terang dalam gelap’. Ya, itu sebuah judul lagu...
“Terang... Gelap...?” gerundu Arsenna lirih. Kemudian ia mengingat lagi khayalannya, dalam novelnya ia tuliskan terang itu siang dan gelap itu malam. Satu keadaan yang berbeda tapi berganti. Arsenna melangkah sambil menggenggam erat disc itu.
“Mala...!!!” teriaknya memanggil Kumala. Arsenna melihat ke bawah, sebuah jurang, berarti Kumala tak jauh dari sini. Ia lemparkan disc itu ke jurang... dan seketika Arsenna turun ke jurang tanpa ragu.
“Mala...” katanya terus memanggil dan mencari Kumala. “Mala...!!!” teriak Arsenna begitu menemukan Kumala tengah tak sadarkan diri. Arsenna berlari menghampiri Kumala, diangkatnya kepala Kumala dan ia letakkan dipahanya. “Mala... sadar Mala... kau tak apa-apa bukan?”
“Senna...” panggil Kumala lunglai sambil terus tersenyum menatap Arsenna.
Arsenna memandangi Kumala, “Bodoh kamu...! kenapa kamu tak mendengar kata-kataku...??!” katanya mengomel tapi dimatanya berlinang air mata.
Kumala hanya tersenyum kecil menatap Arsenna sahabatnya. “Aku percaya kamu pasti datang... Senna...” katanya lembut dan akhirnya Kumala jatuh peingsan. “Mala...!” teriak Arsenna. Arsenna bangkit dan bergegas mencari mata air untuk berwudhu, ia ingin meminta pertolongan dari Allah...
“Ya Allah... hamba memohon pada-Mu dimalam yang kelam ini, hamba mencoba menguasai malam ini... malam milik-Mu... Ya Allah... lindungailah kami, lindungi Mala dari hal-hal yang buruk. Jangan biarkan orang yang terpenting dalam hati hamba teraniaya... Jika Engkau mencintai hamba, maka cintailah juga dia ya Allah... Hamba tahu Engkau mencintai orang-orang yang hamba cintai tak terkecuali dia ya Rab... Berikan jalan keluar ya Allah... Keluarkan kami dari tempat ini... Engkaulah maha pengasih... dan Engkaulah tempat memohon. Kabulkan munajatku ini ya Allah.. Amin...”
“Arsenna...” panggil Kumala.
“Mala... Kamu baik-baik saja...?” tanya Arsenna girang.
Kumala hanya tersenyum dan mencoba bangkit. “Apa yang kamu minta dari Allah, Sen...?” tanya Kumala penasaran.
“Hmm tidak, hanya memohon keselamatan...”
Setelah Yoan ditemukan, bantuanpun datang pada Kumala dan Arsenna. Mereka berdua selamat, Abah dan Abang Kumala terlihat ikut menyelamatkan mereka.
“Alhamdulillah ya Allah... Mala...” ucapan syukur abah gembira. “...syukron, Arsenna...”
“Afwan...”
Semua pun berlalu begitu cepat, liburan ini digunakan Kumala untuk pemulihan kakinya yang luka. Dan dimanfaatkan Arsenna untuk menyelesaikan karyanya, ia harap ini menjadi karya terbaiknya.
“Bagaimana keadaan Mala, Bang...?” tanya Arsenna.
“Baik...”
“Apa dia masih ingin pergi ke danau, bang...?”
“Kau tanyakan saja langsung. Aku kurang tahu.”
Danau pun menjadi tempat berlibur Kumala tahun ini, masih sama dengan ditemani Arsenna sahabatnya. Seperti yang Arsenna janjikan waktu itu, merekapun menaiki perahu sambil memancing ikan disana. Sementara itu Arsenna sibuk membaca buku kecil yang ia genggam.
“Senna...” panggil Kumala. Arsenna melirik dan melanjutkan kegiatannya. “...kamu belum jawab pertanyaanku waktu itu...”
“Hmm... yang mana...?”
“Waktu kamu janji mau nemenin aku ke danau... kan ada ‘dan’ 1 lagi...” jelas Kumala.
Arsenna diam dan menutup bukunya, terkadang matanya mengarah pada Kumala. “Hm... aku lupa...”
“Apa?! Lupa katamu? Bohong...!”
Arsenna memutar dan memandang buku yna ia pegang, diserahkannya buku itu pada Kumala.
“Semua jawaban dari pertanyaanmu ada disini...” sambil menunjuk pada buku. “... bahkan pertanyaan-pertanyaanmu yang lain...”
“Ini karya barumu...?”
Arsenna hanya mengangguk dan tersenyum kecil. “Novel itu belum beredar, bahkan kamu orang pertama yang membaca novel itu...” jelas Arsenna.
Kumala pun menyimpan buku itu, ia lanjutkan liburannya kali ini... ya... kali ini saatnya foto-foto... Sepulangnya dari danau, buru-buru Kumala baca buku kecil pemberian Arsenna. Ia baca dengan teliti dan tiba-tiba secarik kertas jatuh dari sebuah halaman buku itu. Kumala ambil lembar kertas itu.
Mala, aku pernah berjanji untuk menemanimu ke danau. Kurasa itu sudah, dan.... ‘Dan’ yang aku maksud itu adalah novel ini, aku ingin kamu menjadi orang pertama yang membaca novelku ini. Karena semua isi hatiku ada dalam novel itu. Termasuk doa malam yang kau tanyakan...
Kumala melihat cover depan novel itu, ‘Gelap dalam Terang’ itulah karya Arsenna yang akhirnya menjadi best seller berikutnya, seperti apa yang Arsenna harapkan pastinya. Dan baru kali ini Arsenna mau menjawab pertanyaan dari media yang sibuk mewawancarainya.
“Arsenna... dari mana kamu dapatkan inspirasi sehebat ini...?” tanya salah seorang wartawan.
“Hmm... seseorang yang menjadi pembaca pertama novel ini...” jawabnya singkat.
“Lalu siapa seseorang yang kamu maksud?” lanjut wartawan bertanya.
“Itu tidak penting.... terima kasih...” Ucap Arsenna mengakhiri bincang-bincangnya.
Keadaan kembali seperti semula... Arsenna dengan sekolahnya...
Arsenna terkejut ketika ia duduk di bangku kelasnya, laci mejanya dipenuhi surat dan hadiah dari penggemarnya.
“Wah... Arsenna, sepertinya kamu butuh meja dengan laci yang lebih besar lagi...” canda Yoan terkejut.
“Selamat ya, Sen...” ucap Kumala tersenyum manis.
“Arsenna... ada pertanyaan dari penggemar nich...” kata Yoan. “katanya begini ‘kak Arsenna, sebenernya siapa sich orang pertama yang baca novel kakak?’... wah bener banget... iya! Siapa, Arsenna...?” lanjutnya ikut bertanya.
“Berikan padaku...!” pinta Arsenna.
“Siapa, Arsenna?”
Arsenna bangkit dan memberikan buku dari penggemarnya itu pada Kumala, Arsenna pergi meninggalkan kelas.
“Kok... pergi sich... Mala... kamu tahu?” tanya Yoan masih penasaran.
Mala hanya tersenyum sambil memberikan buku itu. Yoan membukanya kembali, di bawah pertanyaan penggemar tertulis kata; ‘AKU’ dan kemudian Yoan membuka halaman berikutnya... ‘MALA’... itulah yang ia baca selanjutnya. Yoan menunjuk Kumala sahabatnya. “Kamu... Mala...?”
Mala mengangguk dan Yoan tersenyum kecil padanya. Harapan mereka sepertinya telah Allah kabulkan. Arsenna dengan kesuksesan karyanya, Kumala dengan Kendo dan Tilawahnya, Yoan dengan cover girl nya dan... Arsenna dengan Kumala...

Jumat, 12 November 2010

Hastuty Quartz: CERMIN HATI

Hastuty Quartz: CERMIN HATI: " v\:* {behavior:url(#default#VML);} o\:* {behavior:url(#default#VML);} w\:* {behavior:url(#default#VML);} .shape {behavior:ur..."

Rabu, 13 Oktober 2010

CERMIN HATI

1
KEPUTUSAN



G
emercik air membasahi lembah peraduan ilmu yang aku tekuni. Secuil harapan seakan tak ada makna yang berarti. Ketika semua harapanku hanyalah bak daun kering yang berserakan di sepanjang jalan. Hatiku mati dan jiwaku merana menyaksikan apa yang seharusnya tak kualami. Aku bukanlah siapa-siapa di kota yang asing bagiku. Aku hanya ditemani sinarnya rembulan, taburan bintang, serta dinginnya malam kota ini. Dan sahabat-sahabatku yang senantiasa meluruskan hati dan pikiranku. Tanpa mereka ku tak tahu siapa diriku. Aku yang berasal dari Jawa Barat ini harus menimba ilmu hingga ke Jawa Tengah nan hijau ini.
            Ku akui tak masuk akal anak pondok seperti ku harus melanjutkan kuliahku di Jawa Tengah ini, padahal di Jawa Barat pun, bahkan di pondokku saja ada tempat kuliah. Tapi entah angin apa yang  membawaku kesini. Apapun alasannya, yang jelas aku hanya ingin menuntut ilmu disini.
            Biar begitu, ada yang ku sesali selama berada disini, bagaimana tidak, karenaku__ salah seorang makhluk Allah harus salah langkah hingga akhirnya menderita. Aku telah membuatnya gila padaku dan menomer duakan Alloh. Karenaku pula semua orang harus terluka dan berduka. Sungguh bejat diriku ini. Tak sepantasnya aku berada disini, aku menghancurkan makhluk yang Kau kasihi Ya Alloh. Tapi tak ada gunanya aku menyesali apa yang telah terjadi, biarlah ini menjadi pelajaran berharga bagiku.
            Ku harap aku masih tetap putra Abah Sa’id Husaen hingga saat ini. Ya, aku__Wafa’, anak sulung pemilik Pondok Pesantren Daarul Djalal Jawa Barat. Beberapa tahun yang lalu aku masih berada di pondok abahku. Tapi beberapa tahun yang lalu hingga saat ini pula aku tak berada disana. Aku di Klaten, kota yang sehat dan hemat kataku. Bagaimana tidak, debu Klaten tak seperti debu Ibu Kota, trotoar Klaten tak dijadikan penampungan sampah seperti halnya Bandung yang konon merupakan kota kembang, serta lembutnya tutur kata mereka tak seperti di Karawang, Ciamis, Kuningan, dan sekitar Jawa Barat sana. Setiap pagi sekelompok orang memadati jalanan kota Klaten dengan sepeda mereka, tak sedikit pula para mahasiswa dan pegawai-pegawai pabrik pun serentak mengendarai sepeda. Trotoar jalan juga dipadati pejalan kaki yang melintasinya, nyaris tak satupun pedagang kaki lima di sepanjang jalan, lain halnya dengan Ibukota, trotoar dipenuhi pedagang kaki lima bahkan dijadikan perumahan pula.
            Huh… seandainya ibukota seperti ini, tak enggan rasanya para pejabat bersilaturohmi ke rumah rakyat kecil, mungkin. Dengan itu pula kita bisa melaksanakan kegiatan pencegahan Global Warming yang mengancam dunia akhir-akhir ini. Tapi apa Klaten seindah yang ku katakan? Wallahu a’lam , yang jelas ini fakta bukan mengada-ada.
            Universitas Klaten, pemuda-pemudi Klaten, Tokoh masyarakat Klaten, bahkan lingkungan Klaten cukup bersahabat denganku. Tapi aku belum juga bersahabat dengan apa-apa yang ada di kota ini, aku masih pantas dikatakan awam disini. Aku ingin sekali mengenal kota ini seperti aku mengenal kotaku di Jawa Barat. Aku ingin akrab dengan kota ini, dan ingin mengerti karakter orang-orang disini.
            Begitu beruntungnya orang sepertiku, ku kira setelah ku sampai disini kuakan terlantar dan harus mencari tempat yang tak ku ketahui, tapi ternyata Alloh memang melindungiku. Aku tinggal dirumah KH. Ahmad Hanifah pamanku. Disana aku merasa seperti dirumahku sendiri, begitupun paman sekeluarga memperlakukanku dengan tak berlebihan. Biar begitu aku tak bisa berlarut-larut menumpang seperti ini, aku harus bisa tegak sendiri dan secepatnya mengurangi beban keluarga paman.
            Hari pertamaku di kampus__aku berkenalan dengan mahasiswa asal Semarang yang ramah dan ber-Jawa kental, Rizal namanya. Dia baik dan tak banyak bicara sepertiku. Lain halnya dengan teman sekamarnya, Sony__ anak Pastur Salatiga itu. Rizal-lah yang meng-orientasikan aku dikampus ini, dengan ikhlas dia mengajakku berkeliling dari ruang satu keruang yang lain. Ada juga Mamad, Taufan, Hidayatulloh, dan sahabat kuliah lainnya yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda.
            Hari-hari itu sangat melelahkan bagiku, setiap bibir memberikan salam, menanyaiku dengan berjuta pertanyaan, dan bahkan Rizalpun menginterogasi ku selayaknya tahanan penjara.
“Mas, gimana to rasanya tinggal disini? Enak to?” Tanya Rizal dengan dialek Jawanya. Selagi ia bertanya, terus ku jawab pula pertanyaan-pertanyaannya. Sempat juga Rizal mengajakku ngekost bareng, tapi aku masih belum bisa menjawabnya karena selama ini aku tinggal bersama Paman. Kalau ditanya, tentu aku tak menolak, tapi… keputusan ada ditangan Paman.
            Sekian lama aku disini, semua tak berubah. Seluruh warga kampus selalu memandangku seolah-olah mereka menatap seorang teroris.  Adakah keanehan pada diriku ini? Aku pun menanyakan masalah ini kepada Rizal dan Sony. Dengan lembut Rizal menjawabnya lirih dan berbisik-bisik padaku.
Nda’ usah kaget dan bingung gitu Mas, mereka kagum sama kamu Mas. Soalnya, sudah jadi barang langka ada pemuda sesholeh Mas Wafa’ ini.” Katanya memuji-muji.
            Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang Rizal katakan. Apakah aku sesuci itu? Wallohua’lam, aku hanya diam dan mendengar penjelasan Rizal tadi. Diam memikirkan, sesuci apakah aku dimata para sahabat dan apa hanya aku yang mereka anggap sholeh? Yang jelas, aku bersyukur karena Alloh mengutus shabat-sahabat yang baik untukku. Selang beberapa lama, Sony menyampaikan beberapa kata padaku.
“Fa’…!” Panggilnya pertama kali. “ada salam dari anak-anak kampus, salam balik nda’?” jelasnya nampak kegembiraan didalam dirinya.   Wa’alaikumsalam… boleh, kalau tak merepotkan Kang Sony saja.” Jawabku masih agak bingung pada sikap para sahabat.
“O ya, hampir aja. Ada salam juga loh dari Shifa.” Katanya paling akhir. “ya wis yo, aku pamit sit, disit yo…” pamitnya.
            Siangpun berganti malam, kegelapan mulai menyelimuti alam nan indah ini. Nyanyian jangkrik pun tak lepas malam itu. Suasana Maghrib pun masih terasa didalam jiwa. Doaku seakan melayang-layang bersama angin malam menuju langit yang penuh dengan bintang.
            Ba’da Maghrib aku pun duduk diruang tamu menemani Paman yang sendiri. Banyak topik yang kami perbincangkan. Mulai dari kuliahku hingga masalah agama. Hingga aku teringat ajakan Rizal untuk ngekost bersamanya. Ku akhiri topik tadi dan ku alihkan pembicaraanku.
“Punten Paman.” Ucapku penuh keyakinan. “sudah sebulan lebih saya  teh tinggal disini, bersama Paman, Bibi, dan Anis. Apa sekiranya Paman tak berkeberatan?” Tanyaku cukup berbelit-belit.
Paman terdiam, tangannya terus merebut tasbih satu persatu, matanya terpejam dan kakinya dihentakkan ke lantai. Aku bingung dan cemas akan sikap Paman yang not responding itu. Aku sudah menduga, pasti Paman telah mengerti apa yang aku jelaskan. Tapi aku tak mengerti apa yang sebenarnya Paman fikirkan saat ini. Setelah beberapa lama, akhirnya Paman pun angkat bicara.
“Jujur, pertanyaanmu ini mengejutkan Paman.” Jelasnya terlihat murung. “ini rumah Paman, rumah yang dulu Paman dan Umi kamu tempati sebelum Umi kamu menikah dengan Abahmu.” Lanjut Paman dengan menebarkan senyuman kepadaku.
Penjelasan Paman barusan membuatku tak tega dan merasa tak enak untuk melanjutkan penjelasanku. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba Hanphone N5000 ku berbunyi. Dan ku lihat terdapat sms baru masuk.
“Kala keheningan malam menyelimuti kalbu, tak ada yang dapat menebarkan kehangatan kecuali kehangatan rindumu. Saat bintang tak lagi menebarkan pesonanya, senyumanmu selalu menebarkan syahdu bagiku.RħHσãhJ…!!” Begitulah kira-kira sms yang masuk. “Rashifah…?!” tanyaku terkejut. “Siapa ya? Atau mungkin…” kataku lirih yang akhirnya Paman potong. “Kancamu Le?”  Tanya Paman. “Ga tau Paman, nomor baru.” Jawabku seadanya. “Yo wis, sholat dulu yo… wis Isha.” Ajak Paman. “Iya Paman.”
Malampun mengucapkan selamat tinggal dan sang pagi mengucapkan salam dengan gembira, aku masih teringat akan sms yang Rashifah kirim, aku belum tahu siapa dia, atau mungkin dia adalah Shifa yang Sony ceritakan kemarin. Wallohua’lam, siapapun dia, ku harap maksud smsnya itu baik. Akupun mengawali hari ini dengan sekantong semangatku, hingga di kampus ku tanyakan masalah Rashifah kepada Rizal. Rizal kaget juga, tapi dia juga senyam senyum tak ada artinya padaku.
“Jadi, Rashifah itu saha Kang Rizal?” tanyaku makin penasaran. “naon atuh, ada yang lucu apa? Jawab Zal!” pintaku ngotot. “Aku nda’ nyangka, dia sms kamu Mas? Masa Mas nda’ tau si_dia kan yang kemaren nitip salam buat Mas.” Jelasnya masih tetap cengengesan. “Maksud Akang Shifa? Ah! Ga usah dibahas deh, ga penting.” Lanjutku menghentikan topik. “Tadi maksa, sekarang minta bubar. Yo wislah…” putusnya.
Masalah Shifa atau Rashifah sudah tak kami bahas. Kami anggap selesai semua itu. Tiba-tiba Paman menelfonku dan mengatakan sesuatu padaku.
“Paman? Assalamu’alaikum” Sapaku agak heran. “Wa’alaikum salam. Wafa’ Paman mau meluruskan maksud penjelasanmu semalam.” Jelas Paman cukup membingungkan. “Maksud Paman?” “Ya, Paman tahu, Paman ingin kamu belajar mandiri, carilah tempat kost untuk kamu nak!” aku sangat terkejut.
Dan Paman terus menyuruhku untuk mencari tempat kost. Alhamdulillah, akhirnya apa yang ku harapkan bisa ku peroleh. Akhirnya ku minta bantuan Rizal masalah kepindahanku ke tempat yang baru, dan betapa leganya aku. Aku bisa tinggal bersama sahabat-sahabat aku_Rizal, Sony, Taufan, Hidayat, dan Mamad. Tempat tidurku bersebelahan dengan tempat tidur Rizal, tepatnya dikamar depan, kamarnya cukup nyaman dan tertata rapi. Mungkin karena Rizal yang menempati.
Wah, panjang benar rasanya perjuanganku untuk bisa mandiri dan ini serasa sebuah perjalanan hijrah. Menyenangkan, menantang, penuh cobaan, dan sangat menyenangkan. Aku tak perlu lagi merasa tak enak karena numpang terus di rumah orang, sekalipun yang ku tumpangi adalah pamanku sendiri.
Mungkin ini hadiah yang Alloh berikan untuk ku. Walaupun aku masih agak tak enak hati dengan Paman, tapi insyaalloh, niatku ini baik dan tak ingin memutus silaturahmi. Apalagi kami ini adalah saudara. Dan ku harap Paman bisa mengerti keputusanku ini.














2
LINGKUNGAN BARU



S
elang beberapa hari aku pindah dari pondok paman dan hijrah ke tempat kost Rizal cs. Aku sudah merasa lega karena aku merasa lebih mandiri dan bebas melakukan apa saja. Tapi setiap minggunya aku masih sering berkunjung ke pondok paman. Karena biar bagaimana pun aku rindu sosok Anis yang manja… adikku yang baik. Sementara itu, gadis yang tempo hari pernah menitipkan salam untukku juga masih sering mengirimkan berjuta sms padaku. Ya…walaupun kadang aku agak canggung juga menerimanya, aku tak mengenalnya. Bertemupun tak pernah. Tapi mengapa dia selalu mengirimi aku berjuta sms… Hal itu malah membuatku penasaran. Seperti apa dia? Baikkah dia? Wallohua’lam… Biarlah, itung-itung menambah saudara baru. Abah bilang semakin banyak saudara, akan makin banyak munajah untuk kita.
Saat aku tengah merapikan semua kamarku yang belum tertata rapi. Ku dapati foto Abah dan Umi. Sekejap aku jadi rindu mereka, aku rindu Abah yang tiap kali menjadi Imam di pesantren. Dan lantunan ayat suci Al Qur’an yang selalu Umi baca selepas Maghrib. Aku ingat kampung halamanku… Perasaan itu pecah ketika Rizal mendapatiku tengah melamun. Rizal tertawa lirih, tertawa melihatku melamun sambil memandang foto Abah Umiku itu. Aku muak bercampur malu melihat kelakuan Rizal barusan. Tapi dia memang sahabat yang baik, sambil terus senyam-senyum_Rizal malah membantuku.
            Perbincangan demi perbincangan pun terucap dari kami. Entah apa sebabnya aku merasa tengah bersama Abah kala aku bersama Rizal. Padahal harus kuakui, Abah jauh lebih kental agamanya. Tapi bagiku, Rizal itu sangat dewasa. Kurasa dia akan selalu menjadi pelurus kekhilafan ku. Dengan tenang dia terus mengusap foto Abah dan Umi yang terkurung didalam figura. Dia banyak bertanya tentang mereka, dia cerewet sekali seperti Bu Likku kalau sedang masak nasi. Hehehe. Rizal juga memuja-muji mereka, menatapnya dalam-dalam. Dan berlanjut kemasalah yang mestinya tak perlu dibincangkan.
“Wah…  Abah sama Umi kamu memang pasangan yang serasi ya Mas?” Kata Rizal lirih. “Serasi…? Tanyaku heran. “…mengapa kang Rizal bilang serasi…?” ku lanjutkan pertanyaanku.
“Iya… Abah kamu sosok pemimpin yang sudah pasti adil.” Puji Rizal. ” Umi, wajahnya teduuuuuhhhh sekali. Bagiku… Pasti cinta mereka sangat indah.” Jelasnya panjang. “Cinta…?” aku makin heran dengan penjelasan Rizal. “Akh…! Sudahlah, sepertinya Mas ini wis mulai bingung…”  potongnya mengakhiri topik.
            Akhirnya kami pun selesai merapikan kamar tidurku. Ku berbaring lega, sementara Taufan yang melihat kami yang terlihat kelelahan mengambilkan kami segelas air putih yang segar. Alhamdulillah… syukur kami meneguk segelas air tersebut. Taufan memang salah seorang sahabat yang sangat perhatian pada siapa pun. Tak jauh berbeda dengan Hidayatulloh yang tak pernah mengeluh dengan sikap kaku Sony, teman sekamarnya. Yang pasti bagiku, mereka semua sangat baik untukku.
            Sementara itu, Sony yang sibuk dengan bacaan doa-doa kristianinya. Tiba-tiba muncul memintaku menemaninya sebantar. Aku tak tahu apa yang akan dia lakukan, yang jelas aku tak akan bisa mengajari kerohanian padanya. Tapi memang bukan itu, Sony memanggilku karena ia ingin minta bantuanku. Dia sangat ingin bisa menjadi orang yang lembut. Aku kaget dengan kata-kata itu. Lantas aku bingung sekali, bagaimana bisa aku merubah hati seseorang. Merubah hatiku sendiri saja aku kewalahan. Dia bilang dia malu, dia malu karena tak seperti Papanya yang lembut dan penuh kesabaran. Aku bingung bukan main, dan akhirnya ku suruh ia untuk melakukan beberapa hal. Sebelumnya aku bingung, tapi ku lihat kolam ikan dibelakang rumah yang cukup besar. Jadi ku putuskan untuk menyuruhnya membersihkan dedaunan yang jatuh kekolam setiap pagi. Aku ingat benar, cara itu adalah cara Abah mengajar santri-santrinya. Walau pun aku tak mengerti jelas artinya. Tapi kalau dipikir dengan logika, mana bisa kita membersihkan dedaunan hingga benar-benar bersih. Daun itukan selalu gugur. Itulah sabar…
“Apa…?” teriak Sony keras. “…aku harus membersihkan semua itu? Gila kamu Fa’…! Apa bisa…?!” Kata Sony mulai ragu. “Kalau ada niat dihati akang, insyaalloh semua akan lancar…” Bujukku agak sadis mungkin. “Terus__belajar sabarnya kapan?!” Tanya Sony agak emosi. “Nanti… kalau kang Sony sudah berhasil menyelesaikan pekerjaan itu.” jawabku seraya pergi meninggalkannya.
            Sebenarnya aku juga tak tega melihat ekspresi Sony yang nampak pucat dan bingung, tapi itukan keinginannya. Kalau dipikir-pikir, kenapa Sony tak meminta bantuan ayahnya saja. Bukankan ayahnya itu Pastur, pasti jauh lebih paham dibandingkan aku.  Akhirnya aku membiarkannya dibelakang rumah, dan kulihat ia sedang sibuk dengan daunnya. Sepertinya Sony sudah mulai menjalankan perintahku tadi. Ku acuhkan Sony dan ku putuskan untuk berkunjung ke rumah paman, aku rindu sekali pada paman, bibi, dan adikku Anis. Tak lupa, kalau aku kesana pasti tak lepas dari sebuah oleh-oleh. Ya_walaupun paman sudah melarangku membawa oleh-oleh untuk mereka.
“Paman kan wis bilang. Nda’ usah bawa oleh-oleh buat paman. Mbok ya uangnya ditabung saja. Siapa tahu kamu punya kebutuhan yang mepet. Kan nda’ bikin bingung Abah kamu.” Nasihat paman lembut. Tiba-tiba dari kejauhan Anis memanggilku dengan volume full sambil lari-lari tak karuan. “Mas…!!!” Panggilnya. “…mas Wafa’…!!! Mau kesini kok nda’ bilang-bilang… kan nanti bisa Anis jemput. Hehehe” Katanya cengengesan. “Jemput?! Jemput pake grobak?” tanyaku meledeknya. “Anis! Apa nda’ bisa ngomong lebih pelan! Nda’ sopan!” nasihat paman agak keras. “Maaf Yah…” Ucap Anis penuh penyesalan.
Banyak benar topik yang kami perbincangkan, tak terasa waktu jua mengharuskanku pulang ke tempat kost ku karena heningnya malam mulai menghantui bumi. Aku pamit kepada Paman, Bibi, dan Anis. Anis Nampak tak senang. Tapi biarlah, mungkin Anis lelah seharian mondar-mandir membantu Bibi di dapur. Kusalami kedua orang tuaku, mereka benar-benar ku anggap Abah dan Umi, yang lama tak kuhubungi selama aku di Klaten. Durhaka-kah aku_Ya Alloh? Wallohua’lam…  Perlahan aku pun mulai jauh dari pondok Paman, angin malam menggigit tubuhku, rasa ini membuatku mempercepat kayuh sepeda jengki tahun 70-an ini. Akhirnya sampai juga di tempat kost. Dari kejauhan terlihat Rizal yang sedang duduk-duduk di beranda. Dia menungguiku. Bagaimana tidak, dia lantas berdiri dan mendekatku melihat aku sampai didepan. Ku ucapkan salam dan dia balas pula. Ternyata dia benar-benar menungguku. Katanya, karena dia bersyukur masih memiliki seorang teman. Akupun hanya tertawa kecil. Aku heran aku saja tak pernah berpikir sampai kesitu. Apakah hanya lelucon, atau memang ketulusan hati Rizal yang amat indah?
Sekejap itu pun lenyap. Aku terhanyut dalam mimpiku. Hingga adzan Shubuh membangunkanku dan seluruh tubuhku ini. Aku bergegas menampung air wudhu, udara yang masih bersih dan belum tercemar merasuk diseluruh tubuhku. Dan kesegaran air wudhu ini sangat menyentuh seluruh jiwaku ini. Ah… segarnya… rasanya aku masih ingin menyentuh kesegaran ini. Tapi tiba-tiba Rizal datang dan mengucapkan sesuatu.
“Jangan lama-lama main air. Kayak anak kecil aja. Nanti masuk angin loh…” nasihat Rizal begitu mengejutkan. “Akh! Kang Rizal, bisa saja… Saya teh cuma iseng aja.” Kataku merasa malu sambil meninggalkan Rizal. Sementara itu, Sony juga terbangun dengan mata yang masih 5 watt itu. “Subuh ya…? Hua…!!!” katanya kelihatan masih ngantuk. “…aku tidur lagi ya Fa’…! Hua…” mulutnya terus menguap lebar. Taufan yang sekamar dengan Sony tertawa lebar melihat tingkah Sony yang aneh itu. “Hahaha… Sony… Sony… selalu saja begitu. Untung kamu bukan muslim, coba kalau kamu muslim, bisa-bisa kamu selalu absent solat Subuh. Hahaha!”            Ono opo to…? Berisik banget! Sholat! Sholat! Nanti keburu Iqomah tuch!” Kata Hidayatulloh mengingatkan. “Iya… buruan donk! Mau ke Masjid nda’ sich?!” lanjut Mamad. “Rizal! Mas Wafa’! dan kamu Fan! Cepet donk! Guyon wae…!!!” katanya terus ngomel. “E…!” teriak Rizal hampir tertinggal. “mengko sit…! Sarungku isih acak-acakan. Moso aku ditinggal!” Teriaknya mengejar kami.
Beruntung kami belum terlambat sampai masjid, iqomah belum dikumandangkan. Dan pada saat iqomah, seluruh jamaah bergegas melaksanakan kewajiban mereka tak terkecuali aku sendiri. Jam menunjukkan pukul 04.45 wib. Tepat saat imam memberikan kuliah shubuh pagi itu. kantuk teramat menggantung mata kami tatkala mendengarkan kuliah shubuh. Mata besar mulai terbit ketika kuliah shubuh berakhir. Seperti biasa, setelah jamaah shubuh, sambil pulang ke tempat kost, kami jalan-jalan keliling kompleks. Dijalan, kami berpapasan dengan lelaki paruh baya yang Nampak kekar tubuhnya, Pak Udin namanya. Beliau adalah ketua RT dikompleks kami. Kami saling menyapa dan terjadi sedikit perbincangan diantara kami. 
Assalamu’alaikum Pak De…!” sapa Rizal, Mamad, Taufan, dan Hidayatulloh. “Wa’alaikumsalam…! Baru pulang jamaah kalian?” tanya Pak Udin begitu akrab. “…hm…mesti kalian terlambat meneh… iya to…?” tebaknya tak meleset. “Iya Pak De… maklum, kamar mandinya kan Cuma satu. Sedangkan penghuninya bukan satu lagi.” Bela Rizal. “Iya iya… Pak De tahu.” Katanya singkat__kemudian pandangannya beralih padaku, dia tersenyum lebar padaku. Aku yang baru disini pun hanya nyengir malu. “O… mesti iki kancamu sing anyar iku to, Fan?” tanyanya memakai logat jawa yang tak ku mengerti maksudnya, inilah yang paling tak kusukai. Serasa dicuekin. “Injih… Pak De… asmanipun Wafa’… pindahan soko Jawa Barat…” Jelas Taufan ikut-ikutan berdialeg Jawa. “Kang! Sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan? Kok kayaknya menyebutkan namaku gitu?!” Tanyaku pada Rizal bisik-bisik. “Iya. Pak Udin ini sedang Tanya-tanya mas Wafa.” Jelas Rizal. “Maaf Pak De… Wafa belum bisa dialeg jawa. Apa nda’ sebaiknya pake BI saja Pak De?” usul Rizal bijak. “O iya… aku lali… Pak De ingetnya ngobrol Jawa… saja. Maaf ya nak Wafa…” ucap Pak Udin.
Perbincangan demi perbincangan pun terangkai diantara kami. Hingga Pak Udin menyerempet ke masalah aku sebagai warga baru di kampong ini. Memang sudah seharusnya sebagai warga baru, aku harus ikut menyesuaikan adat dan kebiasaan disini. Begitu pula yang sedang kami bincangkan. Pak Udin bilang, aku harus ikut jaga malam rutin yang dilaksanakan di kampong ini. Aku harus ikut salah satu kelompok jaga malam. Untunglah, para sahabat juga selalu rutin melaksanakannya. Jadi aku bisa satu tim dulu dengan mereka.
“Hm… kalau begitu, biar saya satu kelompok dengan kang Rizal dulu ya Pak…!” pintaku. “…soalnya saya  teh belum paham benar dengan warga dan lingkungan disini.” Lanjutku. “Ya ya… nda’ apa-apa kok… yang penting ikut melaksanakan lah. Nanti kalau nak Wafa ini nda’ ikut, nanti saya dikira RT yang pilih kasih.  Iya to…?” lanjut Pak Udin begitu mantap. “Kalo gitu, berarti mas Wafa ikut jaga malam saya nanti malam mas…! Soalnya nanti malam jadwal saya. Gimana?” Tanya Rizal. “Iya… saya ya ikut saja lah kang.”     Ya wis… kalau begitu, semua sudah beres. Dan selamat menikmati lingkungan baru kamu Fa’…” ucap Pak Udin. “Terima kasih pak… Tapi punten pak…” kataku begitu pelan. “saya… saya… belum bisa panggil Pak Udin… Pak… Pak De… masih canggung pak…” lanjutku sebenarnya tak enak hati. “Ya nda’ apa… nanti lama-lama juga terbiasa… Ya wis… Pak De pamit dulu. Assalamu’alaikum…       Wa’alaikumsalam…
Kami pun pulang, hari ini adalah hari pertamaku mengisi ceramah diROHIS kampus. Aku sengaja ingin ikut kegiatan itu, beruntung dikampus juga ada Rohis. Rupanya tak banyak penggemar ROHIS disini, tak sebanyak penggemar band-band terkenal Indonesia macam UNGU atau D’MASIV. Oleh karenanya, walaupun aku baru sekali ini di Rohis, aku sudah hafal mereka-mereka yang disini. Hanya ada 17 orang. 10 orang ikhwan. Dan 7 lainnya adalah akhwat. Termasuk Rizal, itupun karena ajakanku tadi. Seusai kegiatan Rohis aku pun pulang bersama Rizal_dia cerita banyak tentang Rohis, dia bilang alasannya tak pernah ikut kegiatan Rohis karena Rohis di kampus teramat membosankan, tak ada variasi lain atau apalah… sebagai daya tarik. Aku pun jadi tertarik untuk mengembangkan Rohis.

               




3
DIA ITU… SYIFA…?!



Malam pun beranjak, inilah saatnya aku, Rizal dan Sony jaga malam di pos ronda. Kami tak hanya bertiga, pak Bejo, hansip kompleks juga ikut jaga malam ini. Bagi Rizal malam ini malam yang biasa-biasa saja, tapi tidak bagiku. Malam ini adalah malam pertamaku melaksanakan jaga malam yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Ini benar-benar salah satu pengalamanku lagi, jaga malam bersama. Agaknya sangat baru bagiku. Sebelum jaga malam, aku sempatkan untuk membaca ayat-ayat Alloh_semenjak di Klaten, rasanya jadwal ngajiku amat berkurang. Sibuk kuliah, membuat makanan, ikut inilah, itulah, akh… beda benar dengan hidupku di Jawa Barat. Disana aku selalu menyempatkan tadarus hampir tiap ba’da sholat fardhu, belum lagi jam-jam lain. Coba sekarang, aku tadarus ba’da Maghrib saja sudah untung.
Rizal memanggilku. Dia juga membantuku menyiapkan alat-alat apa saja yang harus aku bawa, ya maklum saja aku ini kan baru pernah nge-ronda. Ku ambil senter, sarung, dan tak lupa Hp N5000 ku. Kami pun bergegas menuju pos ronda. Terlihat disana pak Bejo sudah duduk sendiri menunggu kami. Seperti biasa, pak Bejo sibuk mengeluarkan papan caturnya ketika melihat kami datang. Itulah kebiasaan pak Bejo, kata Rizal. Sony langsung saja mendekat pak Bejo dan seakan mengajak bermain. Sony memang selalu begitu, dia suka catur dan dia juga pandai main catur. Aneh juga sich, orang arogan seperti Sony mahir bercatur.
Sementara itu, pak Udin ketua RT desa ini seperti biasa memberikan jatah makanan kecil kepada setiap orang yang bertugas jaga, tak terkecuali kami. Tapi kali ini bukan pak Udin yang mengantarnya, melainkan keponakannya. Katanya pak Udin sedang ada kepentingan diluar, jadi tidak bisa mengantarkan makanan ini.
“Bu! Bapak nda’ iso nganter jajan buat anak-anak ronda. Bapak minta tolong ibu saja ya…!” Pinta pak Udin pada istrinya. “Rasyifah aja pak lik…!” kata Rasyifah menawarkan diri. “Tumben kamu, nda’ disuruh kok ya mau. Biasanya saja, kalau diprentah ya ngomognya moh.” Lanjut bu Udin meledek. “Ya biarin aja bu… wong anaknya lagi mau. Yo ben…!” Bela pak Udin. “Fah! Ini kamu anterin ke pos ronda ya…! Pak lik ada tahlilan di kampung sebelah. Kalau lewat pos, ya… suwen…” Jelas pak Udin. “Beres pak lik! Nda’ usah cemas… pasti semuanya beres…” kata Rasyifah membanggakan dirinya sendiri. “Syifa pamit ya… Assalamu’alaikum…!”                 Wa’alaikumsalam.”       “Hm…ada yang nda’ beres ya bu… Syifa aneh…” kata Pak Udin. “Mesti… lah Pak…”
Rasyifah pun bergegas mengantarkan makanan kecil tersebut. Dia terlihat amat ceria, ya… karena dia tahu, malam ini ada anggota ronda baru. Sesampainya di pos ronda, dengan lembut dia mengucapkan salam kepada kami. Tak lupa dengan menebarkan senyumnya itu. Gadis yang amat pemberani dan apa adanya, itulah dia. Dengan berjuta PD-nya, dia biasa-biasa saja kalau harus berurusan dengan lawan jenis. Lain denganku_Canggung.
Assalamu’alaikum...!” kata Rasyifah mengucapkan salam. “Wah... makanan datang... Sini Fah...!” Sahut Sony tidak sopan. “Enak aja... emang buat sampeyan apa!” Tolak Rasyifah menyembunyikan makanan. “Yo wis...! pak Bejo. Keliling aja yuk...! males disini!” Ajak Sony pada pak Bejo marah. Sementara itu, Rasyifah tetap saja cuek, dia malah senang kalau Sony itu pergi, mengganggu. “Zal...! Mas Wafa’...! ini Syifa bawakan makanan buat kalian. Syifa sendiri lo yang bikin...” Kata Rasyifah menyodorkan makanan.
Aku heran benar, jadi ini yang bernama Syifa__Rasyifah. Gadis yang kerap mengirimi aku SMS. Tapi apa yang membuat dia terinspirasi seperti itu ya...? Wallohua’lam. Tapi aku juga bingung, dari mana juga dia dapatkan nomor handphone-ku. Dia tahu namaku, akh, kalau Cuma sekedar nama sich sudah biasa. Kami berdua belum membuka makanan tersebut, tapi Rasyifah tetap saja duduk disini, benar- benar over PD. Rizal memegang perutnya, seketika dia minta ijin untuk buang air sebentar. Ya Allah... kenapa Rizal harus pergi saat gadis ini disini. Padahal aku kurang senang dengan sifat dan sikapnya.
“Mas! Aku ke jamban dulu ya...! kebelet nich!” pamit Rizal cengar-cengir. “Kang!” Panggilku.
Inilah hal yang ku benci, ku pikir lebih baik aku tundukan kepalaku sambil memasang earphone ditelingaku. Setidaknya dia bosan berada disini. Dan ku harap dia cepat pergi dari sini. Dan tak datang lagi kesini. Tapi salah, dia tetap saja duduk tenang dan berusaha mengajakku bicara, tapi pura-pura saja ku acuhkan dia. Hingga akhirnya Rizal kembali ke pos dan kupanggil dia keras-keras.
“Mas!” panggil Rasyifah. “…asyik banget kayaknya. Memang dengerin lagu apa, Mas…?” Tanyanya mengakrabi. Tetap ku acuhkan dia sambil ku geleng-gelengkan kepalaku pura-pura keasyikan mendengarkan hits-nya UNGU. “Ya Wis, kalo nda’ mau ditanyai, Syifa nda’ nanya lagi kok…” katanya terlihat marah. Dan pada saat itu, Rizal pun datang. “Ya Alloh kang Rizal! Akang itu buang air apa mandi sich?!” tanyaku emosi. “Maaf mas, tadi nda’ ada air. Tapi kan ditemenin sama Syifa… Ya to, mas?” jawabnya extra santai. “Iya… tapi kayaknya mas Wafa’ nda’ mau ditemenin!” kata Rasyifah benar-benar marah. “…aku pamit! Assalamu’alaikum…!” pamit Rasyifah kasar. Wa’alaikumsalam “Syifa kenapa? Kok yo nesu kaya ngono…” Tanya Rizal heran. “Kamu ngomong apa kang? Aku ga ngerti.” Tanyaku bingung dengan bahasanya. “Itu, Syifa kenapa, kok kayaknya marah? Mas tahu, Syifa kenapa?” “O… biarin aja, yang penting dia pergi.” Jawabku tanpa dosa. “Hm…pasti ada yang nda’ beres…” kata Rizal lirih.
Suasana pos ronda makin menggigit ditubuh kami, suara binatang malam menemani kami dimalam itu. Lampu-lampu rumah warga mulai padam, aktivitas tak berarti pun mulai surut. Kantuk pun tak lepas dari kedua mata kami. Tiba-tiba terlihat Sony dan pak Bejo dari arah barat menuju pos. Mereka duduk, dan meneguk segelas kopi pahit kiriman gadis tadi. Sepertinya mereka berdua sudah amat kelelahan. Tanpa pikir panjang, Sony rebut makanan yang terbungkus tas plastik yang ku gantung disudut pos. Dia tawarkan makanan itu pada kami semua. Serentak kami pun ikut mencicipinya. Biasa, kami malu-malu. Kecuali Sony yang tak punya malu.
“Loh! Kok jajannya nda’ dimakan?” Tanya Sony dan dijawabnya sendiri. “yo wis… biar aku aja yang makan. Mau! Nich! Udah, nda’ usah malu-malu… yang punya kan udah pergi.” Katanya menawari kami. “Hm… pasti bikinan Syifa…! asin!” cela Sony menjulurkan lidahnya. “Wis… wis… udah dikasih aja syukur, pake nyela lagi. Nda’ sopan.” Tambah Rizal memperingatkan. “Iya, asin ya mas! Tapi tetep enak kok.” Kata pak Bejo. “…eh! Tapi kata orang jaman dulu, kalo ada perawan masaknya asin kayak gini. Biasanya udah mau minta cepet-cepet kawin… iyo… bapakku bilang gitu…!” tutur pak Bejo yakin. Sony pun langsung menanggapinya serius. “Bener banget! Rasyifah kan pingin buru-buru dikawinin sama… Wafa’! bukan begitu mas?!” lanjut Sony asal bicara. “Ehek… ehek…” mendengar begitu aku pun shock berat. “Astagfirulloh… mas nda’ kenapa-napa, kan? Minum dulu mas! Minum!”   “kamu sich… buat apa to ngomong koyo ngono?!” lanjut Rizal membelaku.
Kami lupakan kejadian barusan. Ya… walaupun hatiku masih begitu marah, tapi biarlah… Sony memang selalu seperti itu. malam mulai mencekik, kami rasa_keadaan kampung juga aman-aman saja. Kami tertidur pulas di pos ronda. Kami yang kelelahan tak bisa menahan kantuk yang amat menggantung dimata kami.
Jarum jam keemasan terpantul dalam belenggu cahaya biru arloji ditanganku yang menunjukkan pukul empat pagi. Cahaya lampu rumah-rumah penduduk mulai menyala. Langit pun menyemburkan hawa Subuh yang kunantikan. Aku bangkit dari tidurku, ku ambil sarungku dan bergegaslah aku menuju jamban yang tak jauh dari sekitar sini. Jamban itu juga tak jauh dari rumah Pak Udin ketua RT kami.
Kudapati gadis yang semalam mengganjal diriku. Syifa? Ya… begitulah para sahabat memanggilnya. Dia terlihat sedang membantu seorang wanita di dapur pondok pak Udin. Mungkin istri pak Udin. Aku makin penasaran dengannya. Siapa sebenarnya dia, ada hubungan apa dia dengan pak Udin. Apa mungkin dia itu putri pak Udin? Akh… tapi tak mungkin, kang Rizal bilang pak Udin tak memiliki anak satu pun.
Astagfirullohal’adzim… mengapa aku jadi seperti maling begini. Ku acuhkan tempat itu, dan ku ambil air untuk mengusap wajahku yang masih sayu. Seperti biasa, aku merasa amat senang dengan air disini. Sejuk benar… air ini cukup untuk mengusap kantuk diwajahku. Ku kembali ke pos ronda, ku bangunkan kang Rizal, kang Sony, dan pak Bejo. Mereka juga sayu. Buru-buru mereka menyeka wajahnya untuk membuang sayu.
Ku dengar lantunan ayat-ayat Allah dikumandangkan di surau yang biasa kami jamahi. Begitu merdu dan meneduhkan jiwaku ini. Kami pulang ke tempat kost kami, sekaligus persiapan jamaah subuh pagi ini. Saat kuliah subuh, tiba-tiba aku teringat sikapku yang tak semestinya ku perlihatkan kepada Syifa. Tiba-tiba hatiku benar-benar merasa bersalah padanya. Rasanya, gumpalan dosa menutup seluruh hati dan pikiranku. Kenapa tiba-tiba aku jadi begini?
Ya Alloh… musnahkanlah kegelisahanku ini… berilah petunjuk dan jalan terbaik untuk masalah ini ya Alloh… Jangan biarkan diriku ini berselimut dosa… Walau pun hamba ini tahu, bahwa manusia macam aku ini tak pernah lepas dari dosa. Tapi setidaknya, hindarkanlah semua itu dari hamba… Hindarkanlah ya Alloh…
Suasana itupun berganti menjadi suasana pagi yang segar. Ku mulai aktifitas hAari ini dengan penuh kegembiraan, namun tetap dengan ganjalan yang teramat dalam hati. Aku masih belum bisa melupakan kelakuanku tadi malam. Begitu merasa bersalah diriku ini.
“Berangkat, mas.... Wis siang ini...!!!” ingat Rizal buru-buru. “....mas mau jalan kaki po nyepeda to mas....?” lanjut Rizal menanyaiku. “Duluan saja, kang. Masih ada yang harus saya selesaikan.” Jawabku santai. “O... yo wis kalo gitu... Assalamu’alaikum...”
Hari ini aku berencana untuk menemui gadis yang sering disapa Shifa itu, aku ingin meminta maaf kepadanya, aku rasa sikapku tadi malam begitu keterlaluan.